Pemimpin Libya Moammar Khadafy makin brutal menghadapi protes massa. Khadafy, Kamis (24/2), memerintahkan militernya menghalau massa dengan rudal antipesawat dan senjata otomatis hingga menara sebuah masjid di Zawiya, 50 km sebelah barat Tripoli, ikut hancur.
Meski hingga Rabu sekitar 1.000 orang tewas akibat aksi militer, kekerasan terhadap massa yang menggelar aksi antirezim Khadafy masih terus terjadi. Rudal antipesawat dan senjata otomatis ditembakkan ke masjid di Zawiya karena ribuan pengunjuk rasa berkemah di dalam dan sekitar masjid.
Dilaporkan, menara masjid rusak berat. Meski belum ada laporan resmi tentang korban jiwa terbaru, saksi mata menduga kuat, tembakan rudal dan senjata otomatis menyebabkan jatuhnya korban. Militer kembali berjuang keras mempertahankan posisi Khadafy ketika massa antipemerintah terus melancarkan protes di Zawiya dan kota-kota lain di wilayah barat, dekat Tripoli.
Aksi militer yang tidak kalah seru terjadi di Tripoli, Rabu malam. Tentara yang diperkuat oleh milisi Komite Rakyat, sebuah garda depan Khadafy untuk mengantisipasi jika para tentara tidak loyal lagi kepadanya, melepaskan tembakan membabi buta terhadap kerumunan massa. Suasana kota Tripoli mencekam. Ratusan tentara dan milisi terus berkeliaran di jalan-jalan untuk memastikan tak ada warga yang keluar rumah. Tank dan kendaraan lapis baja ditempatkan di sejumlah titik rawan.
Kekerasan militer pendukung Khadafy makin menjadi-jadi karena massa terus bertahan di kota-kota di barat Tripoli. Beberapa kota di timur, seperti Sirte, Tobruk, dan Benghazi, juga sudah dikuasai massa ”pemberontak” terhadap rezim Khadafy. Massa berniat ”mengepung” Tripoli yang dikuasai tentara bersenjata lengkap, termasuk tank dan kendaraan lapis baja.
Brutal
Saksi mata, yang meminta namanya dirahasiakan karena takut menjadi target pembunuhan, mengatakan, serangan rudal antipesawat dan senjata otomatis itu terjadi pada Kamis pukul 09.00 di Zawiya. Sehari sebelumnya, seorang pesuruh Khadafy, Abdullah Megrahi, datang memperingatkan para pengunjuk rasa agar segera bubar atau siap dibantai. ”Kami katakan kepadanya, kami takkan pergi, mati atau menang,” kata seorang saksi.
Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (IFHR) mengatakan, korban tewas, hingga Rabu, mencapai 640 orang, termasuk lebih dari 130 tentara yang dieksekusi atasan mereka karena tidak mau menembaki demonstran. Korban tewas yang diakui pemerintah 300 orang, termasuk 111 tentara.
Souhayr Belhassen dari IFHR mengatakan, sebanyak 275 orang tewas di Tripoli dan sisanya tewas di Benghazi. ”Jumlah korban tewas di Benghazi sudah termasuk 130 tentara yang dieksekusi oleh perwira militer mereka karena menolak melepaskan tembakan ke arah demonstran,” kata Belhassen.
Franco Frattini, Menteri Luar Negeri Italia, negara yang pernah menjajah Libya, mengatakan, berdasarkan keterangan dari sejumlah rumah sakit di Libya dan sumber yang layak dipercaya, korban tewas lebih dari 1.000 orang. Para korban tewas itu semuanya akibat kekerasan tentara yang masih setia kepada Khadafy serta para milisi Komite Rakyat.
Fakta serupa diungkapkan mantan kepala protokol Khadafy, Nouri el-Mismari, bahwa korban tewas di Libya lebih dari 1.000 orang. Ia menambahkan, 600 orang di antaranya tewas akibat kekerasan di Tripoli. ”Lebih dari 1.000 orang tewas, semuanya warga Libya,” kata Mismari tanpa merinci.
Warga menuturkan, mereka nyaris tak percaya militer Khadafy sampai sebegitu brutal menyerang rakyatnya sendiri. ”Apa yang terjadi sangat mengerikan. Mereka yang menyerang kami bukan tentara bayaran. Mereka adalah anak-anak negeri kami sendiri. Sekarang ada tembakan dengan senjata berat dan mengebom menara masjid,” kata saksi lain sambil menangis di Zawiya.
Barak tentara bayaran
Penduduk yang emosional mengamuk dan menghancurkan sebuah barak yang dihuni satu batalyon tentara bayaran dari Afrika yang direkrut Khadafy untuk melawan demonstran di Benghazi, kota terbesar kedua di Libya. Bangunannya hancur berantakan. Di dindingnya tertulis kata-kata yang mengutuk Khadafy, yakni ”Libya Bebas” dan ”Turunkan Khadafy”.
Seorang pengacara di Benghazi mengatakan, Komite Keamanan yang dibentuk warga sipil di sana menangkap 36 tentara bayaran dari Chad, Niger, dan Sudan yang dikerahkan oleh Praetorian Guard Khadafy untuk mengamankan kota. Traktor dan alat berat lain telah menghancurkan sebuah gedung. Sebuah stasiun polisi terdekat dibakar.
Sepanjang kekuasaannya sejak 1 September 1969, Khadafy telah melakukan banyak kekerasan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri. Pada 1970-an, Khadafy memerintahkan polisi dan pasukan keamanan Komite Rakyat menangkap ratusan warga Libya yang menentang atau pihak-pihak yang dikhawatirkan dapat menentang pemerintahannya.
Pada 1976, misalnya, Khadafy resmi mengeksekusi 22 perwira. Pada 1980, Khadafi menjatuhkan hukuman mati kepada orang- orang asing yang disebutnya ”anjing liar”. Amnesti Internasional melaporkan, pada 1988, Khadafy melakukan ”penangkapan, penahanan sewenang-wenang, penghilangan, penyiksaan, dan hukuman mati”.
Human Rights Watch mencatat, tindakan represi internal paling berdarah dilakukan Khadafy pada 1996. Lebih dari 1.000 tahanan ditembak mati di Penjara Abu Salim. Pada 2000-an, ratusan orang ditahan, tetapi akhirnya dibebaskan, termasuk tahanan politik terlama di Libya, Ahmad Zubair Ahmad al-Sanussi. Ia dituduh terlibat upaya kudeta pada 1970 dan dibebaskan setelah 31 tahun mendekam di penjara.
Pemimpin dunia kecam
Para pemimpin dunia kembali melancarkan kecaman kepada Khadafy. Presiden AS Barack Obama menilai kekerasan, penderitaan, dan pertumpahan darah di Libya sudah ”keterlaluan dan tidak bisa diterima”. Ia meminta masyarakat dunia bersatu membantu rakyat Libya keluar dari krisis politik. AS menyiapkan sanksi terhadap Libya.
Presiden Perancis Nicolas Sarkozy berharap Uni Eropa memutuskan hubungan ekonomi dengan Libya. Menteri Pertahanan Perancis Alain Juppe berharap kekuasaan Khadafy segera berakhir. Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin mengecam Khadafy dan meminta pembantaian diakhiri. Dunia internasional agar bertindak tegas membantu rakyat Libya yang tertekan.
Mustapha Abdeljalil, mantan Menteri Kehakiman Libya, menuturkan, Khadafy bakal bunuh diri seperti Adolf Hitler, bukan menyerahkan kekuasaan. Abdeljalil berharap Khadafy lebih memilih mati di tanah airnya sendiri daripada kabur ke luar negeri. Kecaman datang dari berbagai negara di Afrika, Eropa, Amerika, Asia, dan juga Australia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, Indonesia tidak hanya prihatin atas krisis Libya, tetapi juga meminta PBB dan komunitas global mengambil langkah riil mencegah kekerasan di Libya. Kekerasan sudah di luar batas kepatutan. Krisis Libya dan negara lain di Timur Tengah dikhawatirkan memicu gejolak ekonomi global.