Jaringan televisi Discovery, Selasa (22/4/2014), mengumumkan akan membuat film dokumenter alih-alih meliput aksi melompat dari puncak Gunung Everest, untuk membantu 13 sherpa yang pada pekan lalu tewas dalam persiapan rencana program aksi melompat itu. Justru, longsor yang menewaskan para sherpa itulah yang kini akan digarap oleh jaringan televisi Discovery. Presiden Discovery, Eileen O’Neill mengatakan, Selasa, jaringan televisinya berencana membuat film dokumenter yang dibuat dari perekaman udara pada beberapa pekan mendatang.
Discovery, ujar O’Neill, berharap para pemirsa dokumenter tersebut akan menyumbangkan bantuan bagi keluarga para sherpa yang meninggal dalam musibah longsor tersebut. Para sherpa ini menjadi korban longsor salju dalam persiapan aksi melompat dari puncak Everest oleh Joby Ogwyn (Joe-bee-OH-Gwinn).
Semula, Ogwyn berencana melompat dari puncak “atap dunia” itu menggunakan wingsuit yang akan disiarkan secara langsung di Discovery pada 11 Mei 2014. Ogwyn, Selasa, menyatakan setuju pada perubahan rencana Discovery untuk tak melanjutkan program liputan aksinya. Namun, Ogwyn berharap suatu hari nanti tetap bisa mewujudkan rencananya melompat dari puncak Everest.
Ketegangan memuncak di base camp Gunung Everest, Selasa (22/4/2014), setelah puluhan pendaki dari seluruh dunia kecewa karena para sherpa atau pemandu pendakian melakukan aksi mogok kerja. Pada Jumat pekan lalu, 13 orang sherpa tewas dan tiga lainnya masih hilang setelah mereka tersapu longsoran salju dalam sebuah insiden paling mematikan di gunung berketinggian 8.848 meter itu.
Sejak insiden itu, para sherpa meminta agar pendakian ditunda sementara untuk menghormati rekan-rekan mereka yang tewas. Mereka juga mengancam untuk membatalkan semua rencana pendakian mulai bulan ini kecuali pemerintah Nepal merevisi batas asuransi dan merancang sebuah dana kesejahteraan para sherpa. Ed Marzac (67), seorang pensiunan pengacara yang berencana menjadi warga AS tertua yang mendaki Everest, mengatakan dia memutuskan untuk membatalkan rencananya setelah kehilangan salah satu pemandunya.
Marzec mengatakan, suasana antara para pendaki dan para pemandu sangat kaku, bahkan saat upacara mengenang korban tewas digelar. “Kondisi semakin buruk dan banyak pendaki muda yang mencoba meyakinkan orang-orang untuk memaksa para sherpa agar tidak membatalkan pendakian,” ujar Marzec. Sementara itu, para sherpa memberi batas waktu kepada pemerintah hingga Senin pekan depan untuk memenuhi tuntutan mereka.
Mereka menuntut pemerintah membayar santunan 10.000 dolar AS untuk keluarga para sherpa yang tewas, cedera dan tak mampu lagi bekerja akibat insiden longsor itu. Para Sherpa juga meminta pemerintah untuk membayar biaya pengobatan rekan-rekan mereka yang terluka dan saat ini masih terbaring di rumah sakit.
Dalam satu musim pendakian, seorang sherpa mendapatkan penghasilan antara 3.000-6.000 dolar AS. Namun, jika terjadi kecelakaan, jumlah uang asuransi yang mereka dapatkan sangat kecil. Lebih dari 300 orang tewas, sebagian besar adalah para sherpa, sejak puncak Everest pertama kali ditaklukkan Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay pada 1953.
Hubungan antara para sherpa dan pendaki khususnya dari negara-negara Barat memburuk sejak tiga warga Eropa terlibat perkelahian dengan sekelompok sherpa tahun lalu.