Bahkan, di Jepang, negara yang terbiasa dengan gempa, guncangan besar hari Jumat (11/3) dan tsunami yang ditimbulkannya menakutkan. Jutaan orang tak bisa pulang di Tokyo dan jalan di kota-kota pelabuhan berubah menjadi sungai hitam.
Gempa bumi adalah hal biasa di Jepang, salah satu daerah yang paling sering dilanda gempa di dunia. Negara itu mengalami sekitar 20 persen dari total gempa bumi dunia berkekuatan 6 skala Richter atau lebih besar. Ironisnya lagi, rata-rata sebuah gempa bumi terjadi setiap lima menit di dunia.
Namun, gempa hari Jumat, terjadi beberapa pekan setelah gempa di kota Christchurch, Selandia Baru, menakutkan. ”Saya tadi ketakutan dan masih ketakutan,” kata Hidekatsu Hata (36), manajer sebuah restoran mi ala China di daerah Akasaka, Tokyo. ”Saya tidak pernah mengalami gempa sebesar itu sebelumnya.”
”Orang-orang sangat ketakutan. Sangat jarang demikian karena orang di Jepang terbiasa dengan gempa bumi. Hari ini berbeda,” kata wartawan Reuters Insider, Kei Okamura, di Twitter.
Asagi Machida, perancang situs berusia 27 tahun di Tokyo, sedang berjalan di dekat sebuah warung kopi ketika gempa terjadi. ”Gambar-gambar akibat gempa dari Selandia Baru masih segar dalam ingatan saya sehingga saya sangat takut. Saya tidak bisa percaya gempa sebesar itu terjadi di Tokyo,” ujarnya.
Ratusan orang keluar ke jalan-jalan di Tokyo setelah gempa. Orang-orang berkumpul di depan televisi yang terletak di jendela-jendela toko untuk mengetahui rincian gempa.
Jutaan orang di metropolitan Tokyo terdampar tak bisa pulang ke rumah hari Jumat malam. Gempa tersebut telah menyebabkan jaringan kereta bawah tanah di ibu kota Jepang itu dihentikan.
Sirene berbunyi, helikopter-helikopter televisi melayang-layang, dan orang-orang bergegas ke toko yang buka 24 jam. Warga menyerbu nasi kotak, roti, dan mi instan.
Para karyawan, yang sebelumnya melarikan diri dari gedung-gedung perkantoran yang bergoyang, tak bisa pulang. Mereka juga tak bisa menghubungi keluarga mereka karena sistem telepon seluler kewalahan.
”Saya tidak tahu bagaimana saya bisa pulang ke rumah,” kata seorang perempuan berusia 18 tahun yang menunggu di luar stasiun kereta bawah tanah Ginza, Tokyo. Perempuan itu melukiskan, keramik-keramik berceceran di sekitarnya saat dia berada di dalam sebuah pasar swalayan saat gempa terjadi.
”Jaringan telepon tidak berfungsi dan jaringan kereta bawah tanah total dihentikan. Saya kini berpikir bahwa Tokyo rapuh,” kata Shintoku Arita (35).
Pemerintah menggunakan pengeras suara dan siaran televisi untuk mendesak orang agar tetap tinggal di dekat kantor mereka dan tidak berjalan pulang ke rumah dengan jarak yang cukup jauh.
”Tolong jangan memaksakan diri pulang ke rumah jika tidak menggunakan kendaraan. Bertahan saja di kantor dan di tempat aman,” demikian peringatan yang ditampilkan di NHK.
Saat senja mulai datang, pembaca berita NHK semakin mengingatkan warga agar tidak mencoba berjalan pulang ke rumah. ”Jika warga mencoba berjalan dan menempuh jarak yang jauh, kecelakaan jenis kedua kemungkinan besar akan terjadi,” kata pembaca berita itu.
Metropolitan Tokyo, terentang dari Yokohama hingga permukiman di pinggiran di sekitar Kanto, adalah wilayah perkotaan terbesar di dunia dengan 30 juta penduduk. Sebagian besar penduduk itu memiliki mobilitas tinggi setiap hari.
Akibat larangan itu, jalan-jalan raya keluar dari pusat kota pun macet total. Kamar-kamar hotel di Tokyo terisi penuh.
Menjadi kota hantu
Pelabuhan perikanan historis Jepang, Hakodate, menjadi kota hantu pada hari Jumat setelah tsunami setinggi 2 meter menghantam pusat kota. Pihak berwenang memerintahkan evakuasi terhadap 30.000 warga kota.
Peti kemas berserakan di seluruh kota. Ribuan warga yang ketakutan melarikan diri dari kawasan pesisir karena khawatir tsunami lain akan menghantam pelabuhan di sebelah selatan Pulau Hokkaido itu.
”Ini gempa terbesar yang pernah saya rasakan. Saya kira saya akan menghadapi maut,” kata Sayaka Umezawa (22), seorang mahasiswa yang sedang mengunjungi Hakodate.
Gempa itu tidak saja merepotkan warga Jepang. Pihak Palang Merah Internasional mengatakan, sejumlah negara yang terancam tsunami tak memiliki perlengkapan untuk menghadapi bencana itu. Warga di beberapa negara non-Jepang harus dievakuasi ke tempat yang lebih tinggi agar tidak tersapu.
”Tsunami yang mencapai ketinggian 4-10 meter berarti lebih tinggi dari sebagian wilayah Pulau Hokkaido,” kata Paul Conneally, juru bicara Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. ”Kami amat khawatir mengenai negara-negara berkembang di pesisir yang rentan terhadap ancaman tsunami dan yang mungkin tidak punya mekanisme nasional untuk merespons bencana,” katanya.
Filipina, Papua Niugini, dan pulau-pulau lain di Pasifik termasuk yang paling rentan. Negara-negara di pesisir Pasifik Benua Amerika menghadapi ancaman tsunami. Di Kolombia dan Peru, pihak berwenang juga membuat rencana evakuasi sebagai tindakan berjaga-jaga. Tsunami menghantam sekitar 20 negara Lingkar Pasifik.