Monthly Archives: September 2021

Saksi Kunci Kasus Korupsi Tewas Kecelakaan Pesawat

Salah satu saksi dalam sidang korupsi mantan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dilaporkan tewas dalam kecelakaan pesawat di Yunani pada Selasa (14/9). Kementerian Luar Negeri Israel mengonfirmasi bahwa dua warga mereka tewas dalam kecelakaan pesawat tersebut. Mereka adalah Haim dan Esther Giron.

Badan Penerbangan Sipil Yunani melaporkan bahwa pesawat empat kursi itu lepas landas dari Haifa. Namun, pesawat itu menghilang dari pantauan radar tak lama sebelum jadwal mendarat di bandara Samos.

Kepala dewan penyelidikan kecelakaan udara Yunani,Konylis, mengatakan bahwa pihaknya sudah mengirimkan tim spesialis keSamos untuk meneliti puing pesawat.

“Seorang nelayan mengatakan, ada ledakan besar, diikuti ledakan yang lebih kecil. Besaran puing akan menunjukkan indikasi ledakan,” tutur Konydlis kepada AFP.Menurut Kondylis, puing pesawat itu ditemukan dua kilometer dari bandara. Ia berharap penyelidikan lebih lanjut akan memperjelas penyebab kecelakaan pesawat ini.

Sebagaimana dilansir AFP, Haim Giron merupakan mantan wakil direktur Kementerian Komunikasi Israel. Ia seharusnya bersaksi di sidang terkait kasus yang menyeret Netanyahu dalam waktu dekat. Dalam kasus itu, Netanyahu dituding memberikan kebijakan khusus bagi bos-bos media besar. Sebagai gantinya, media harus memberitakan hal baik terkait Netanyahu.

Giron seharusnya hadir dalam sidang selanjutnya untuk menjadi saksi terkait dugaan Netanyahu bernegosiasi dengan salah satu perusahaan dengan iming-iming keuntungan. Namun, perusahaan media itu harus memunculkan citra positif Netanyahu.

Pangeran Andrew Tolak Gugatan Pelecehan Seksual

Pengacara Pangeran Andrew, Andrew B. Bettler menolak gugatan atas pelecehan seksual yang diajukan perempuan Amerika Serikat Virginia Giuffre. Giuffre menuduh Pangeran Andrew bahwa adik dari Pangeran Charles itu melecehkannya ketika ia berusia 17.

“Ini adalah gugatan yang tidak berdasar, tidak dapat dipertahankan, berpotensi melanggar hukum,” kata Brettler dalam konferensi pengadilan. Pada sidang pengadilan Distrik AS di Manhattan, Bettler juga menyampaikan bahwa penggugat disebut telah menandatangani kesepakatan terkait tuntutan pada Pangeran Andrew pada tahun 2009.

“Ada kesepakatan penyelesaian yang telah dilakukan penggugat dalam tindakan sebelumnya yang membebaskan Duke dan lainnya dari setiap dan semua potensi tanggung jawab,” tambah Brettler.

Brettler juga mengklaim Giuffre tidak melayani Andrew dengan benar di bawah hukum Inggris dan Konvensi Den Haag. Pengacara Giuffre membantah klaim itu.”Kami telah melayaninya dengan baik,” kata David Boies kepada Hakim Distrik AS, Lewis Kaplan, di Manhattan. Melansir Reuters, Giuffre mengatakan bahwa pelecehan yang ia terima dilakukan bersama Investor Jeffrey Epstein. Andrew membantah tuduhan ini.

Giuffre sendiri merupakan salah satu korban kasus pelecehan seksual yang dilakukan mendiang pemodal asal Amerika Serikat, Jeffrey Epstein. Ia bunuh diri setelah jaksa AS mendakwanya atas eksploitasi seksual yang dilakukannya pada puluhan perempuan.

Menurut berkas pengaduan Giuffre, Andrew dikabarkan memaksa Giuffre untuk melakukan hubungan seksual yang tidak diinginkan di rumah salah satu sosialita Inggris dan teman Epstein, Ghislaine Maxwell, di London.

Andrew juga melecehkan Giuffre di rumah besar Epstein di Upper East Side Manhattan dan di pulau pribadi milik Epstein di Kepulauan Virgin AS.Selain itu, Giuffre dalam wawancara bersama BBC pada 2019 silam mengaku bahwa dia dijual dan dipaksa oleh Epstein untuk berhubungan seksual saat masih di bawah umur dengan Pangeran Andrew yang bergelar Duke of York.

Gugatan Giuffre menempatkan Andrew dalam posisi yang sulit karena dia dapat ditahan akibat menghindari pengadilan, bila Andrew memilih untuk mengabaikan gugatan ini.

Lebih Efektif Singapura Pertimbangkan Pakai Sinovac Untuk Booster

Menteri Kesehatan Singapura Janil Puthucheary menyampaikan bahwa saat ini negaranya sedang mempertimbangkan kemungkinan menggunakan vaksin non-mRNA sebagai suntikan booster. Komite Ahli Kementerian Kesehatan Singapura (MOH) menyatakan bahwa mereka “secara aktif mempelajari strategi heterolog yang melibatkan vaksin non-mRNA”.


Melansir Channel News Asia, lembaga ini juga mengatakan bahwa kementerian akan terus mengamati data global dan lokal, terutama terkait risiko efek samping vaksin, sebelum merekomendasikan suntikan booster untuk warga Singapura.MOH tengah mempelajari kemungkinan merek vaksin yang berbeda akan lebih efektif digunakan sebagai suntikan booster. Beberapa penelitian telah menunjukkan hal itu bisa dilakukan.

Beberapa jenis vaksin non-mRNA yang direkomendasikan oleh WHO ialah Oxford-AstraZeneca, Johnson & Johnson, dan Sinopharm. Tak hanya mempelajari vaksin non-mRNA, Singapura juga membuat berbagai kesepakatan dan merencanakan pemberian vaksin booster bagi warganya.

“Kami memiliki strategi yang sengaja ditujukan untuk mendapatkan portofolio vaksin yang menggunakan teknologi berbeda, untuk meningkatkan peluang kami dalam mengamankan vaksin yang akan terus aman dan efektif melawan COVID-19,” tutur Puthucheary.”Kami sedang bernegosiasi dengan pemasok untuk memberikan kami suntikan penguat non-mRNA, dan beberapa sedang mempersiapkan aplikasi mereka untuk PSAR (jalur akses khusus pandemi).”

PSAR sendiri diperlukan dalam proses perizinan Otoritas Ilmu Kesehatan Singapura untuk memberikan otorisasi sementara bagi vaksin yang akan digunakan di Singapura.

Vaksin Sinovac salah satunya, diberikan otorisasi ini pada bulan Juni setelah mendapatkan izin penggunakan darurat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).MOH sendiri tengah merekomendasikan agar manula 60 tahun ke atas menerima vaksin booster enam sampai sembilan bulan setelah suntikan vaksin kedua. Sementara itu, individu dengan gangguan kekebalan harus mendapatkan vaksin booster dua bulan setelah mereka mendapatkan dosis kedua.

Singapura juga telah menandatangani perjanjian pembelian di muka dengan perusahaan bioteknologi Amerika Novavax untuk mengamankan vaksin berbasis proteinnya. Rencananya, vaksin ini akan tiba sebelum akhir tahun. Sampai 9 September 2021, 81 persen masyarakat Singapura telah mendapatkan vaksin Covid-19 dengan dosis lengkap, sementara 85 persennya telah menerima setidaknya satu dosis vaksin.

Kisah Wanita Berbakat Afganistan Yang Jadi Pengungsi Karena Menolak Jadi Budak Seks Taliban

Banyak warga Afghanistan yang berusaha melarikan diri setelah Taliban menguasai negara mereka. Di bawah kepemimpinan kelompok milisi tersebut, mereka memang tidak bisa mendapatkan kebebasan dan harus hidup dengan ketakutan. Apalagi bagi para wanita yang sering menjadi target dan korban. Karena itu, fotografer Roya Heydari memilih untuk segera pindah dari sana.

Roya Heydari adalah seorang fotografer dan pembuat film. Seperti kebanyakan orang Afghanistan, ia berniat untuk melarikan diri untuk melindungi nyawa mereka. Meski sudah berhasil keluar dari sana, wanita cantik itu dilakukan dengan berat hati.

“Aku meninggalkan seluruh kehidupanku, rumahku untuk bisa terus punya suara. Sekali lagi, aku melarikan diri dari tanah airku. Sekali lagi, aku memulai dari awal. Aku hanya mengambil kameraku dan jiwa mati untuk melintasi samudera. Dengan hati yang berat, selamat tinggal tanah airku. Sampai bertemu lagi,” tulisnya di Twiiter.

Curhatan kesedihannya itu pun jadi viral. Mewakili bagaimana perasaan banyak orang Afghanistan terpaksa meninggalkan negara mereka, postingan itu sudah disukai lebih 120 ribu kali dan mendapatkan seribuan komentar. Roya pun mendapat banyak dukungan dari netizen di seluruh dunia.

Dilansir Al Jazeera, Roya Heydari kini telah berhasil kabur dari ibu kota Kabul dan tiba di Perancis. Salah satu ketakutannya atas kembalinya Taliban berkuasa di Afghanistan adalah jika tidak diperbolehkan bekerja. “Kematian hanya datang sekali, aku tidak takut mereka membunuhku. Apa yang aku takutkan adalah dibelenggu, tidak bisa keluar dan meneruskan pekerjaanku,” ujarnya.

Roya Heydari sendiri lahir dalam pengasingan dan baru kembali ke Afghanistan di usia 10 tahun. Selama ini, ia mengalami sejumlah kesulitan dan diancam oleh sejumlah kelompok. Roya pernah berhadapan dengan berbagai serangan dan ledakan tapi menurutnya banyak pembelajaran yang membuatnya bersyukur masih hidup sampai sekarang.

“Aku tidak pernah takut mati atau ancaman dan aku tidak pernah ingin menyerah dan menyembunyikan suaraku. Pertahanan dan kekuatan adalah untuk tidak mati dalam perang ini tapi tetap hidup jadi kamu bisa menjadi suara yang lebih besar untuk generasi dan orang-orangmu,” ujarnya dilansir Rediff.

Banyak orang Afghanistan yang terpaksa keluar dari negaranya setelah Taliban berkuasa. Bukan hanya takut hidup dalam tekanan, beberapa dari mereka melarikan diri karena dikhawatirkan jadi target penculikan bahkan pembunuhan. Salah satu wanita yang berhasil kabur dari sana adalah pelatih sepak bola putri Wida Zemarai. Ia pun mengungkapkan ketakutannya akan nasib pemain lainnya.

Pelatih sepak bola putri Afghanistan Wida Zemarai berhasil melarikan diri dan baru-baru ini tiba di Swedia. Beruntung bisa keluar dari negara berkonflik tersebut, Wida tetap memikirkan nasib pemain lain yang dikatakan berisiko ditangkap dan dijadikan budak seks. “Sangat mengerikan memikirkannya. Taliban berkata yang mereka lakukan adalah jihad tapi mereka memilih gadis-gadis untuk dijadikan budak seks. Jika Taliban berhasil menangkap gadis-gadis itu, mereka tidak akan membiarkan begitu saja di rumah seperti boneka. Mereka ingin menggunakan mereka sebagai budak seks dan menyiksa mereka. Mungkin sampai mereka mati,” katanya kepada Expressen.

“Sebut saja Taliban mengetahui seorang pemain. Mereka akan membawanya, menyiksanya, dan mendapatkan informasi di mana sisa pemain lainnya,” tambah Wida. Wida pun menceritakan apa yang terjadi dengan pemain-pemain bola putri di Afghanistan. Ketika saling kontak, mereka berbisik seperti ada pasukan Taliban di sekitar. Mereka juga meminta pertolongan karena tidak ingin keluarga ikut menjadi korban.

Wanita itu sendiri memang punya dua kebangsaan yakni Afghanistan dan Swedia. Keluarganya pernah melarikan diri ketika rezim Taliban sebelumnya pada 1992. Mereka awalnya pergi ke Rusia dan Ukraina sebelum akhirnya datang ke Swedia. Sebelumnya ia adalah pemain timnas sejak 2014 sampai beberapa tahun lalu ditunjuk sebagai pelatih kiper. Karena itu dia bisa dengan lebih mudah melarikan diri.

“Sangat senang untuk bisa bebas. Aku hanya ingin kita mencoba memastikan gadis-gadis yang hanya menendang bola dan bermimpi jadi pemain bola ini mendapatkan bantuan dengan dievakuasi. Mimpi-mimpi mereka akan sinar karena pemerintah Afghanistan tidak melakukan tugas mereka dengan baik,” ujarnya. Menurutnya, tidak ada tempat untuk olahraga bagi wanita di bawah kekuasaan Taliban. Para pemain pun bisa menjadi sasaran karena mereka telah disiarkan dan diwawancarai. “Mereka sudah pernah menjadi target pelecehan seksual sebelumnya dan itu bisa dibilang mereka berisiko jadi target Taliban 10 kali lebih parah,” ujarnya.