Monthly Archives: January 2015

Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz Wafat

Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz wafat pada Jumat, 23 Januari 2015, pada pukul 01.00 waktu setempat. Abdullah yang diyakini berusia 90 tahun itu menderita pneumonia. Dia sudah menjalani perawatan di rumah sakit sejak Desember 2014. Bahkan, untuk bernapas, dia menggunakan alat bantu. Putra Mahkota Pangeran Salman, 79 tahun, yang tak lain adalah adik kandung Abdullah, menggantikan posisi sebagai raja.

Saat kematiannya diumumkan, semua stasiun TV di Arab Saudi menayangkan pembacaan ayat-ayat Al-Quran. Tayangan ini dimaksudkan untuk mengumumkan kematian anggota keluarga kerajaan. Rencananya, Abdullah akan dimakamkan hari ini setelah magrib.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama turut menyatakan dukacitanya. “Sebagai seorang pemimpin, ia selalu jujur dan berpendirian kuat. Salah satu pendiriannya adalah keyakinan teguh dalam pentingnya hubungan AS-Saudi sebagai kekuatan untuk stabilitas serta keamanan di Timur Tengah dan sekitarnya,” katanya.

Presiden Turki Erdogan Tangkap Wartawan Yang Kritik Dirinya Secara Massal

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menuai kecaman dari Uni Eropa atas penangkapan massal jurnalis oposisi yang dilakukan atas perintahnya. Namun Erdogan berang dan balik mengecam Uni Eropa. “Uni Eropa harusnya mengurus urusannya sendiri dan menyimpan opininya sendiri,” cetus Erdogan seperti dilansir Reuters, Selasa (16/12/2014) sembari membantah penangkapan tersebut telah melanggar kebebasan pers.

Para pemimpin Uni Eropa menyebut penangkapan jurnalis tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai Eropa. Hal ini disampaikan menyusul penangkapan 24 jurnalis yang dianggap memiliki kedekatan dengan ulama ternama Fethullah Gulen, yang kini bermukim di Amerika Serikat. Para jurnalis itu dituding terlibat dalam plot untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan Erdogan.

Mereka yang ditangkap pada Minggu, 14 Desember waktu setempat itu termasuk pemimpin redaksi Harian Zaman, Ekrem Dumanli dan para wartawan media tersebut. Stasiun TV Samanyolu pun tak luput dari penggeledahan yang dilakukan aparat polisi. Gulen yang merupakan pemimpin spiritual gerakan Hizmet, pernah menjadi sekutu Erdogan. Gulen yang kini mengasingkan diri ke AS, dituduh berencana merebut kekuasaan dari tangan Erdogan.

Dalam statemennya, kepala urusan luar negeri Uni Eropa Federica Mogherini mengatakan, setiap langkah untuk menjadi anggota Uni Eropa bergantung pada “respek penuh atas aturan hukum dan hak-hak dasar”. Disebutkan bahwa penangkapan para jurnalis tersebut “tidak sesuai dengan kebebasan media, yang merupakan prinsip inti demokrasi”.

Namun Erdogan membalas kritikan tersebut. “Apa yang kalian (Eropa) tahu soal operasi ini sehingga membuat kalian merasa kompeten untuk mengeluarkan komentar demikian?” cetus Erdogan. “Kami tidak khawatir soal apa yang mungkin dikatakan Uni Eropa, apakah Uni Eropa menerima kami sebagai anggota atau tidak,” tutur Erdogan.

Menurut Erdogan, penangkapan itu merupakan respons yang dilakukan atas “operasi kotor” untuk menggulingkan pemerintahan Turki. Etyen Mahcupyan, kepala penasihat Perdana Menteri Turki Ahmed Davutoglu mengatakan: “Kami punya bukti bahwa ada kesalahan yang dilakukan sejumlah orang di gerakan Gulen. Dan kami punya bukti bahwa jurnalis-jurnalis ini masuk dalam gerakan Gulen,” cetusnya kepada BBC.

Operasi penangkapan jurnalis tersebut terjadi beberapa hari setelah Erdogan bertekad akan melakukan kampanye terbaru terhadap para pendukung Gulen. Selama setahun terakhir ini, Erdogan telah menuding para pendukung Gulen di kepolisian dan kehakiman, sengaja menggunakan penyelidikan kasus korupsi yang dilakukan olehnya untuk mencoba menggulingkan kekuasaannya.

Istanbul Kembali Di Guncang Bom Bunuh Diri

Seorang perempuan meledakkan dirinya dengan melakukan bom bunuh diri di sebuah kantor polisi di Istanbul, Turki. Akibatnya, 2 polisi mengalami luka serius. Bom bunuh diri itu terjadi di kawasan wisata utama di pusat kota Istanbul, Sultanahmet. Kejadian tersebut bermula saat seorang wanita pergi ke kantor polisi dan mengatakan kepada polisi dalam bahasa Inggris bahwa telah kehilangan dompetnya sebelum ia meledakkan bom.

“Dia ke kantor polisi dan mengatakan dalam bahasa Inggris saya telah kehilangan dompet. Itu yang bisa saya katakan, kami sekarang sedang berusaha untuk mengidentifikasi penyerang,” kata Gubernur Istanbul Vasip Sahin seperti dilansir kantor berita AFP, Selasa (6/1/2015).

“Saat ini salah seorang polisi berada di rumah sakit dalam kondisi kritis dan yang lainnya cedera ringan,” jelasnya. Sedangkan pembom bunuh diri tersebut tewas dalam aksi serangannya. Belum diketahui identitas pelaku bom bunuh diri. Usai kejadian, polisi kini telah menutup lokasi wisata di wilayah terjadinya bom bunuh diri. Tempat bersejarah tersebut yakni Masjid Sultanahmet atau yang dikenal dengan nama Masjid Biru dan Masjid Aya Sofia.

Serangan bom bunuh diri itu terjadi lima hari setelah anggota dari sebuah kelompok Marxis dilarang menyerang polisi yang tengah berjaga di luar era Ottoman Dolmabahce di Istanbul, Bosphorus. Dalam sepekan ini, serangan bom diri terhadap polisi telah terjadi sebanyak 2 kali di Turki. Sebelumnya, seorang pria bernama Firat Ozcelik melempar dua granat ke para aparat polisi saat bertugas di luar istana. Beruntung granat terebut tidak meledak sehingga tidak ada yang terluka. Polisi Turki menahan 6 orang terkait aksi bom bunuh diri yang dilakukan pada Selasa (7/1) lalu. Berdasarkan informasi terkini, 3 di antaranya merupakan warga negara asing.

Keenam tersangka itu ditahan untuk dimintai keterangan oleh para jaksa. Demikian dilansir kantor berita AFP, Rabu (14/1/2015).Seorang perempuan nekat meledakkan dirinya dengan melakukan bom bunuh diri di sebuah kantor polisi di Istanbul, Turki. Akibatnya, 2 polisi mengalami luka serius.Bom bunuh diri itu terjadi di kawasan wisata utama di pusat kota Istanbul, Sultanahmet. Kelompok militan Turki, DHKP-C, yang mulanya mengaku bertanggung jawab beradi di balik serangan itu kembali menarik pernyataan tersebut.

Hal ini lantaran Elif Sultah Kalsen, memastikan jasad pembom bunuh diri yang tewas dalam aksi itu bukan lah putrinya. Sementara itu, laporan media lokal menyebut perempuan yang merupakan sang pelaku bom bunuh diri merupakan seorang warga negara Rusia bernama Diana Ramazova.

Menyusul kejadian ini, aparat setempat terus meningkatkan keamanannya selama beberapa hari terakhir. Hal ini sebagai bentuk antisipasi adanya serangan dari militan dan kelompok penguasa Irak serta perbatasan Turki.

Pukuli Demonstran Hingga Tewas … Polisi Turki Dihukum 10 Tahun Penjara

Dua polisi Turki dijatuhi vonis 10 tahun penjara karena memukuli seorang demonstran hingga tewas. Kasus ini terjadi dalam unjuk rasa antipemerintah Turki pada tahun 2013 lalu. Polisi setempat terpaksa menembakkan gas air mata usai vonis dibacakan, untuk membubarkan para demonstran yang berkumpul di luar pengadilan di Kayseri, Turki pada Rabu (21/1). Demikian seperti diberitakan CNN Turk dan dilansir Reuters, Kamis (22/1/2015).

Keluarga demonstran yang tewas, Ali Ismail Korkmaz (19) menyebut vonis 10 tahun penjara terlalu ringan. Korkmaz tewas pada Juni 2013 lalu saat ikut unjuk rasa antipemerintah. Rekaman CCTV menunjukkan bagaimana Korkmaz dipukuli di bagian kepala dengan tongkat. Setidaknya ada 4 orang berpakaian sipil yang terlihat mengelilingi dan memukuli Korkmaz yang berstatus mahasiswa tersebut.

Usai beraksi, keempat pelaku melarikan diri. Sedangkan Korkmaz jatuh koma hingga akhirnya meninggal dunia sebulan kemudian. Tiga terdakwa lainnya divonis 7 tahun penjara. Sedangkan satu terdakwa lainnya divonis 3 tahun penjara. Presiden Recep Tayyip Erdogan yang kala itu masih menjabat sebagai Perdana Menteri Turki, menuai kritikan tajam dari dalam negeri maupun luar negeri. Saat itu, Erdogan dianggap bertindak otoriter terhadap demonstran. Erdogan bahkan menyebut para demonstran sebagai teroris dan berandalan.

Sedikitnya 5 demonstran lainnya dan seorang polisi tewas dalam unjuk rasa yang berujung kerusuhan pada tahun 2013 lalu. Ribuan orang lainnya mengalami luka-luka.

9.000 Pasukan Rusia Masih Ada Di Ukraina Untuk Bantu Pemberontak

Presiden Ukraina Petro Poroshenko menyebut lebih dari 9 ribu tentara Rusia ada di wilayahnya. Tentara-tentara tersebut membantu separatis pro-Rusia yang terus bertempur melawan tentara Ukraina di wilayah timur negara tersebut. “Terdapat lebih dari 9 ribu tentara Federasi Rusia di wilayah saya, termasuk lebih dari 500 tank dan artileri berat dan kendaraan pembawa tentara bersenjata,” ujar Presiden Poroshenko saat berbicara dalam World Economic Forum di Davos, Swiss, seperti dilansir AFP, Kamis (22/1/2015).

Poroshenko menekankan, tidak ada solusi militer bagi konflik antara Rusia dan Ukraina yang sudah berjalan 9 bulan terakhir. Lebih dari 4.800 orang tewas dalam konflik tersebut. Poroshenko bersikeras bahwa kunci untuk perdamaian antara kedua negara dipegang oleh Rusia, yang selama ini membantah mendukung separatis pro-Rusia di Ukraina. Padahal citra satelit NATO menunjukkan keberadaan tentara Rusia di wilayah Ukraina.

“Solusinya sangat sederhana. Hentikan suplai senjata. Hentikan suplai amunisi. Tarik tentara dan tutup perbatasan. Rencana perdamaian yang sangat sederhana,” sebut Poroshenko yang disambut tepuk tangan. Presiden yang terpilih pada Mei 2014 lalu ini, kembali menyerukan negara-negara Barat untuk memberikan suplai senjata modern bagi Ukraina agar bisa memukul mundur Rusia.

“Kami memiliki tentara yang sangat kuat untuk mempertahankan wilayah kami. Tapi teknologi pertahanan juga hal yang kami perlukan, karena hanya tentara yang kuat yang bisa membantu kami mempertahankan wilayah,” ucapnya dalam bahasa Inggris. “Dukungan politik, ekonomi, pertahanan dan moral — inilah empat kunci penting untuk mendukung Ukraina,” tandas presiden berusia 49 tahun ini.

Konflik Ukraina timur kembali menelan korban jiwa. Setidaknya 11 orang tewas dalam pertempuran ganas antara militer Ukraina dan para pemberontak pro-Rusia dalam 24 jam terakhir. Enam tentara Ukraina termasuk di antara korban tewas. Juru bicara militer Ukraina, Andriy Lysenko mengatakan, selain menewaskan enam orang, 18 tentara lainnya terluka dalam baku tembak sengit tersebut. Seorang warga sipil juga tewas dalam serangan pemberontak di pos pemeriksaan keamanan di dekat Fashchivka, wilayah Lugansk.

“Dalam satu hari ini, enam tentara Ukraina tewas. Delapan belas lainnya luka-luka,” tutur Lysenko seperti dilansir kantor berita AFP, Jumat (16/1/2015). Pertempuran sengit ini terjadi di sekitar bandara Donetsk sejak Kamis, 15 Januari dan sempat berhenti pada malam hari. Namun kemudian kontak senjata kembali berlanjut pada Jumat ini. Sebelumnya, pejabat-pejabat kota di Donetsk menyatakan, empat warga sipil tewas setelah serangan mortir ke sebuah gudang di kota tersebut.

Muslim Australia Kutuk Perbudakan Seks Oleh ISIS Karena Bertentangan Dengan Islam

Komunitas muslin di Australia mengutuk perbudakan terhadap sejumlah wanita Sekte Yazidi dan menyebut itu adalah perbuatan barbar, sangat bertentangan dengan Islam dan kelakuan ISIS ini merupakan penghinaan terhadap Islam. Pernyataan keras ini disampaikan menyusul pemberitaan yang menyebutkan diduga warga Australia Mohamed Elomar dan Khaled Sharrouf, yang ikut berjuang bersama kelompok teroris ISIS di Suriah dan Irak telah memperbudak perempuan dari kelompok minoritas penganut agama Yazidi di Utara Irak.

Dari sekitar 80 orang yang diduga warga Australia yang bergabung dengan pasukan ISIS di kawasan itu, Mohamed Elomar dan Khaled Sharrouf merupakan yang paling dikenal dan kegiatan mereka juga telah memicu keprihatinan warga muslim lokal. Berita yang menyebutkan keduanya telah menahan sejumlah budak perempuan telah memicu kemarahan dikalangan anggota senior dari komunitas muslim di Australia.

Juru bicara komunitas Muslim terkemuka, Keysar Trad mengatakan tuduhan ini sangat memprihatinkan. “Ini tentu saja berita yang sangat, sangat mengganggu, dan kami bersimpati kepada para korban. Kami benar-benar memahami perasaan perempuan-perempuan itu dan orang yang mereka cintai,” katanya.

Joumanah El-Matrah, yang mengepalai Pusat Muslim Perempuan untuk Hak Asasi Manusia, juga terkejut. “Dari perspektif Islam, Islam tidak tentu tidak memungkinkan untuk terjadinya perbudakan manusia apalagi menjual mereka,” katanya. “Salah satu hal positif tentang Islam adalah justru Islam lah yang memberantas perbudakan, terutama perempuan, yang sebenarnya merupakan praktek cukup umum dalam sejarah di awal kedatangan Islam.

El-Matrah mengaku tidak habis pikir bagaimana orang yang pernah berkesempatan tinggal di Australia bisa menjadi pengikut dari paham keji seperti itu. “Ini benar-benar sulit dipahami bagaimana dua pemuda Australia, yang dibesarkan di negeri ini, benar-benar bisa meyakini pandangan yang memperlakukan orang lain sebagai budak dan kemudian memberi label itu sebagai paham Islam,” katanya.

“Saya berpikir bahwa banyak tokoh masyarakat dan profesional lain di Australia masih berusaha memahami bagaimana orang-orang muda seperti mereka bisa terjerumus dalam situasi dimana mereka berada saat ini,’ Posting Elomar di media sosial mengindikasikan dirinya merupakan tokoh populer dan berpengaruh di kalangan warga Australia yang beralih menjadi tentara ISIS.

Posting terbaru menunjukkan dia memiliki hubungan dengan Mahmoud Abdullatif, seorang pria Melbourne yang dilaporkan tewas dalam pertempuran di Suriah. Elomar juga baru-baru ini memposting foto anak Yazidi memegang pistol. Gambar tersebut diberi judul: “ia mulai mendapatkan ide bahwa ISIS adalah pedoman hidup.”

Kebrutalan dan paham ekstrim tentara ISIS mengenai Islam sangat tak tertandingi. Setelah menghadiri pengarahan dengan pegawai keamanan AS, Menlu Australia, Julie Bishop mengaku dirinya kini semakin direpotkan dengan ancaman dari pejuang di luar negeri.

Banyak kalangan muslim mengatakan harus ada ;lebih banyak upaya yang dilakukan untuk mencegah radikalisasi dikalangan pemuda muslim di Australia. Tahun lalu, Pemerintah Australia mengalokasikan $13.4 juta untuk mendanai program yang bertujuan mencegah pemuda Australia terlibat dalam kelompok ekstrim.

Namun sejumlah pemimpin muslim mengaku komunitas muslim belum melihat realisasi dari penggunaan dana tersebut.
“Sayangnya dalam waktu satu atau dua tahun atau tiga tahun kita terlena dengan pendekatan berbasis komunitas dan ternyata mendapati kalau hanya komunitas saja yang bergerak melakukan upaya untuk mencegah radikalisasi tersebut,” katanya.

“Komunitas muslim sendiri semakin terbuka untuk melakukan kegiatan semacam itu dan mereka juga semakin kompak,” tambahnya.

“Namun sayangnya, pemerintah justru menarik sumber dayanya dari masyarakat, yang menurut saya merupakan kebijakan yang keliru dan bertolak belakang dengan apa yang terjadi dibanyak negara di dunia menyangkut radikalisasi – dari negara muslim yang dilabelkan sebagai negara berkembang hingga tempat seperti AS dan Inggris dimana pendekatan berbasis komunitas menjadi semakin dianggap penting dilakukan,’

Dua Warga Jepang Diancam Akan Dibunuh Oleh ISIS

Perdana Menteri Jepang Shnzo Abe, Selasa (20/1/2015), menuntut agar Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) segera membebaskan dua warga Jepang yang disandera setelah kelompok itu mengunggah video berisi ancaman pembunuhan terhadap kedua sandera tersebut. “Saya dengan tegas menuntut agar mereka tidak disakiti dan dibebaskan sesegera mungkin. Saya sangat marah dengan perbuatan semacam ini,” ujar PM Abe dalam jumpa pers di Jerusalem.

Dalam pidatonya itu, Abe menegaskan pemerintahannya tidak akan menyerah terhadap tekanan teroris. Pernyataan ini terkait dengan tuntutan tebusan sebesar 200 juta dollar yang diminta ISIS untuk membebaskan kedua sandera tersebut. “Komunitas internasional tidak akan menyerah terhadap segala bentuk terorisme dan kami akan memastikan bahwa kami semua akan bekerja sama,” lanjut Abe yang tengah dalam kunjungan resmi enam hari ke beberapa negara Timur Tengah.

Dalam video itu, tuntutan tebusan itu adalah sebuah kompensasi atas janji Jepang yang akan memberikan bantuan non-militer sebesar 200 juta dollar bagi negara-negara yang memerangi ISIS.Meski warganya diancam ISIS, Abe menegaskan Jepang tetap akan memenuhi janjinya dan segera mengirimkan bantuan tersebut.”Tekanan itu tidak akan mengubah apa pun. Paket bantuan sebesar 200 juta dollar akan digunakan untuk membantu para pengungsi yang saat ini berjuang untuk hidup. Kami akan segera mengimplementasikan janji ini,” ujar Abe.

Pemimpin Jepang itu mengatakan sudah membentuk dua tim untuk menangani krisis sandera itu. Satu tim bekerja di dalam kabinet dan tim lainnya di kementerian luar negeri.Lebih lanjut Abe menambahkan, dia sudah mengirim seorang pejabat senior ke Jordania untuk melakukan pembicaraan dengan Pemerintah Amman dan mengumpulkan lebih banyak informasi terkait situasi penyanderaan itu. Pemerintah Jepang, Selasa (20/1/2015), menegaskan tidak akan menyerah terhadap teroris setelah video yang dirilis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menampilkan dua sandera asal Jepang yang terancam dibunuh.

Dalam video itu, ISIS mengatakan tidak akan membunuh dua sandera tersebut jika pemerintah Jepang membayar tebusan sebesar 200 juta dollar atau sekitar Rp 2,5 triliun.”Posisi negara kami ialah memberikan kontribusi dalam perang melawan teroris dan tidak akan menyerah, tidak berubah,” kata Juru Bicara Pemerintah Jepang Yoshihide Suga dalam jumpa pers di Tokyo.

Suga melanjutkan, video yang dirilis ISIS itu menampilkan ancaman terhadap dua pria yang kemungkinan adalah warga Jepang. Pemerintah Jepang masih menyelidiki kebenaran video tersebut.”Menyandera orang adalah perbuatan yang tak termaafkan dan saya merasa sangat marah. Pemerintah Jepang bertekad untuk melakukan yang terbaik untuk membebaskan kedua sandera itu sesegera mungkin,” lanjut Suga.

Perdana Menteri Shinzo Abe, yang tengah melawat ke Timur Tengah dan diharapkan memberikan pernyataan terkait masalah ini pada Selasa malam, kemungkinan akan membatalkan sebagian rencana kunjungan kerjanya.Meski demikian, tambah Suga, rencana untuk menggelar pembicaraan dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas tetap akan dilaksanakan.

“Perdana Menteri akan menjalin kerja sama untuk menghadapi masalah ini saat bertemu dengan Presiden Abbas dan para pejabat Palestina,” ujar Suga.”Pemerintah akan mengirim Menteri Luar Negeri Yasuhide Nakayama ke Amman, Jordania, untuk memberikan instruksi lebih lanjut,” Suga menegaskan.

ISIS Kembali Eksekusi 13 Remaja Muslim Irak

Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dikabarkan mengeksekusi 13 orang remaja laki-laki yang kedapatan tengah menonton laga Piala Asia 2015 antara Irak melawan Jordania, Senin (19/1/2015).Para remaja ini ditangkap ISIS di distrik Al-Yarmouk, Mosul, kota terbesar kedua Irak, yang kini berada di bawah kendali kelompok militan itu.

Laporan kelompok anti-ISIS “Raqqa Sedang Dibantai Diam-diam” itu menyebut ke-13 remaja itu ditangkap dan kemudian dieksekusi di hadapan publik dengan menggunakan senjata mesin.”Jasad mereka bergelilmpangan begitu saja di jalanan dan orangtua mereka tak bisa mengambil jenazah anak-anak mereka karena khawatir akan dibunuh ISIS,” ujar kelompok itu lewat situs resminya.

Kelompok ini menambahkan, sebelum proses eksekusi, seorang anggota ISIS menyebutkan kejahatan mereka dengan menggunakan pengeras suara. Menurut ISIS, kejahatan para remaja itu adalah melanggar hukum agama dengan menonton sepak bola. Kelompok “Raqqa Sedang Dibantai Diam-diam” adalah sebuah kelompok aktivis kecil yang secara rahasia mengumpulkan berbagai dokumen dan bukti kekejian ISIS yang berlangsung di kota asal mereka.

Kabar kekejian ISIS ini muncul dua hari setelah kelompok itu merilis video saat mereka melemparkan dua orang yang dituduh sebagai gay dari puncak sebuah bangunan bertingkat di kota Mosul.

Polisi Muslim Tewas Dieksekusi Oleh Teroris Dalam Serangan Ke Kantor Charlie Hebdo

Dua orang polisi tewas dalam penyerangan ke kantor majalah “Charlie Hebdo” di Prancis. Seorang polisi diantaranya diketahui merupakan seorang Muslim bernama Ahmed Merabet. Ahmed Merabet (42) tewas saat penyerangan terhadap majalah satiris “Charlie Hebdo” Rabu (7/1) kemarin. Pembunuhan terhadap Merabet sempat terekam dalam video.

Dalam video tersebut Merabet sedang terbaring di tepi jalan dan memohon agar ia tak diserang. Akan tetapi, pelaku penyerangan tersebut justru menembak Merabet dalam jarak dekat Merabet meninggalkan seorang istri. Merabet merupakan seorang polisi patroli. Ia bertugas untuk berpatroli di wilayah kesebelas, yaitu lokasi di mana penyerangan terhadap “Charlie Hebdo” terjadi, seperti dikutip dari Daily Caller.

Polisi lainnya yang juga gugur dalam penyerangan tersebut belum diketahui identitasnya. Akan tetapi, polisi tersebut diketahui berusia 49 tahun. Ia merupakan polisi yang datang ke lokasi karena memiliki tugas untuk melindungi pemred “Charlie Hebdo”, Stéphane “Charb” Charbonnier. Baik polisi tersebut maupun Charb tewas dalam penyerangan “Charlie Hebdo”.

Dalam Islam, membunuh merupakan hal yang dikecam, terlebih jika membunuh sesama Muslim. Akan tetapi, kelompok militan Islam menjustifikasi perbuatan mereka ini. Mereka menilai siapa pun yang hidup di Barat atau siapa pun yang tidak sejalan dengan mereka berarti telah mengkhianati “Islam yang sesungguhnya”. Mereka menganggap Muslim di Barat adalah murtad dan kafir.

Ada sekitar 5-10 persen populasi Muslim di Prancis. Salah satu akademisi dan pengamat Timur Tengah Juan Cole menyatakan Muslim di Prancis merupakan populasi Muslim paling sekuler di dunia. Akan tetapi serangan militan Islam di Prancis menambah catatan terkait serangan militan kembali.

Salah seorang polisi yang menjadi korban tewas dalam baku tembak saat tiga orang menyerang kantor Majalah Charlie Hebdo di Paris, adalah seorang muslim. Korban diketahui bernama Ahmed Merabet (42). Media setempat seperti dikutip Mirror, Kamis (8/1/2015) menyatakan, Ahmed Merabet tewas ditembak saat berpatroli di dekat kantor Majalah Charlie Hebdo. Selain Ahmed Merabet, seorang petugas kepolisian lainnya juga tewas dalam insiden ini. Ditambah lagi delapan jurnalis dan dua warga sipil. Para penyerang juga melukai 11 orang lainnya, empat di antaranya dalam kondisi kritis.

Perancis Hadapi Serangan Teroris Kedua … Seorang Polwan tewas

Sehari setelah serangan penembakan yang terjadi di kantor majalah mingguan kontroversial Charlie Hebdo, baku tembak pecah di Montrouge, Paris selatan, Kamis (8/1). Insiden ini mengakibatkan seorang polisi wanita tewas. Belum jelas apakah baku tembak yang terjadi secara mengejutkan ini terkait dengan penembakan di Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang, termasuk pemimpin redaksi majalah mingguan itu dan sejumlah kartunis Perancis ternama.

Walikota Montrouge, Pierre Brossollette, mengatakan seorang polisi wanita dan seorang rekan tengah bertugas di lokasi kejadian untuk menangani kemacetan lalu lintas. Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti dan seorang pria keluar, lalu menembak kedua polisi tersebut sebelum melarikan diri. Seperti diberitakan Reuters pada Kamis (8/1), saksi mengatakan pelaku melarikan diri dengan mobil merek Renault Clio. Sementara, sumber polisi mengatakan sang pelaku mengenakan rompi anti peluru, dan bersenjatakan sepucuk pistol dan senapan serbu.

Siaran langsung di televisi Perancis memperlihatkan puluhan polisi dengan rompi pelindung dan helm berkumpul di luar gedung di dekat lokasi terjadinya baku tembak. Namun, salah satu petugas polisi yang berada di tempat kejadian menyatakan pelaku penembakan itu tampaknya tidak sama dengan tersangka insiden penembakan di Charlie Hebdo.

Hingga saat ini, seorang pelaku penembakan di kantor Charlie Hebdo, Hamyd Mourad yang berusia 18 tahun telah menyerahkan diri ke kantor polisi Charleville-Mezieres di Ardennes. Namun, dua tersangka utama adalah Said Kouachi, 34 tahun, dan Cherif Kouachi, 32 tahun, masih diburu polisi hingga saat ini. Baku tembak ini memicu melebarnya pencarian untuk kedua kakak-beradik Kouachi, yang merupakan warga keturunan Aljazair. Media lokal Perancis melaporkan bahwa Mourad merupakan teman dari kakak ipar salah satu tersangka utama. Media itu juga menyebutkan bahwa Mourad tengah berada di sekolah pada saat serangan itu terjadi.

Serangan bom
Dalam insiden terpisah, sumber dari kepolisian mengatakan serangan bom terjadi di sebuah toko kebab yang terletak di sebelah masjid di kota pusat Villefrance-sur- Saone. Media setempat mengatakan insiden ini tidak mengakibatkan korban jiwa maupun luka. Petugas keamanan Perancis telah lama khawatir bahwa warga Perancis yang menjadi simpatisan kelompok militan ISIS yang ikut berperang di Suriah dan Irak, kembali ke Perancis untuk membuat kekacauan.

Kelompok militan memang telah berulang kali mengancam Perancis dengan serangan, setelah negara ini ikut berpartisipasi dalam koalisi serangan udara yang dipimpin Amerika Serikat ke markas-markas ISIS. Ancaman tersebut membuat pemerintah mengeluarkan undang-undang anti-terorisme pada tahun lalu. Perdana Menteri Manuel Valls mengatakan Perancis tengah menghadapi ancaman teroris dan menegaskan dua bersaudara telah lama menjadi buron pihak kepolisian.

Namun, Valls menyatakan serentetan serangan ini tidak dapat disimpulkan sebagai akibat dari pihak kepolisian yang meremehkan ancaman teroris. “Karena mereka telah lama menjadi buron, mereka telah lama diincar. Kita harus memikirkan korban hari ini dan berkabung,” kata Valls kepada Radio RTL, seperti ditulis Reuters, Kamis (8/1).

Insiden baku tembak ini terjadi pada hari pertama dalam total tiga hari berkabung yang diintruksikan Presiden Perancis, Froncois Hollande. Di sejumlah lokasi di Paris, bendera tiga warna Perancis dikibarkan setengah tiang, dan berbalut pita hitam. Sebanyak tujuh orang telah ditangkap. Sumber dari pihak kepolisian mengatakan sebagian besar dari mereka yang ditangkap adalah kenalan dari dua tersangka utama.

Majalah Charlie Hebdo terkenal kontroversial karena kerap menerbitkan kartun satire yang menyinggung berbagai tokoh politik dan agama, termasuk Islam. Puluhan ribu orang turun ke jalan-jalan di Paris dan sejumlah kota besar lainnya Perancis, sebagai aksi solidaritas pada Rabu (7/1) malam. Beberapa warga Paris mengekspresikan ketakutan mereka akan efek yang ditimbulkan setelah penembakan di Perancis, yang menjadi negara dengan populasi umat Muslim terbesar di Eropa.

Demonstrasi terjadi di mana-mana menyerukan kebebasan berbicara dan kebebasan media. Banyak warga memakai lencana bertuliskan “Je Suis Charlie”, yang berarti “Saya Charlie”. Serentetan serangan yang terjadi di Perancis telah menimbulkan pertanyaan keamanan di negara Barat dan di seluruh dunia. Para pemimpin komunitas Muslim mengutuk serangan itu, namun beberapa menyatakan kekhawatiran insiden ini dapat memicu sentimen anti-Islam di Perancis, negara dengan populasi Muslim terbesar di Eropa.