Politik Intrik Nobel Perdamaian

Seremoni penerimaan Hadiah Nobel Desember 2010 semestinya dihadiri para pemenangnya. Akan tetapi, mustahil Liu Xiaobo—pemenang Nobel Perdamaian 2010—bisa hadir. Sekali lagi, pemerintahan despotik menghalangi perayaan kemanusiaan yang patut disambut meriah dunia.

Pada Januari 2010, Kwame Anthony Appiah, profesor filsafat Princeton University, mengusulkan Liu Xiaobo kepada Komite Nobel Norwegia sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2010. Hadiah tersebut akan menjadi penghargaan terhadap kontribusi Liu dan gerakan pemajuan HAM di China, sekaligus menginspirasi para aktivis HAM di seluruh dunia. Hadiah tersebut juga berkekuatan luar biasa untuk mendesak Pemerintah China agar memahami bahwa ”sejarah berpihak pada kebebasan”.

Ketika pada Oktober 2010 Komite Nobel Norwegia mengumumkan Liu Xiaobo sebagai penerima Nobel Perdamaian, kita kemudian paham daya desaknya. Ketika para pejuang HAM menyambut baik penghargaan itu, Pemerintah China justru melihatnya sebagai pelanggaran wasiat Alfred Nobel dan mengganggu hubungan China-Norwegia.

Muatan politik

Sesungguhnya, Komite Nobel Norwegia semakin kerap disorot karena penganugerahan Hadiah Nobel Perdamaian dipandang sebagian pihak cenderung bermuatan politik. Namun, apakah muatan politik Hadiah Nobel Perdamaian berlawanan dengan wasiat Alfred Nobel? Apa implikasi penganugerahan Nobel Perdamaian bila bermuatan politik?

Sebelum meninggal pada 10 Desember 1896, Alfred Nobel berwasiat agar sebagian kekayaannya dimanfaatkan untuk lima penghargaan, termasuk Nobel Perdamaian. Hadiah terakhir mesti diganjarkan kepada pihak yang ”telah melakukan upaya terbesar atau terbaik bagi persaudaraan di antara bangsa- bangsa, bagi penghentian atau pengurangan kekuatan senjata, dan untuk menegakkan persekutuan damai”.

Ronald R Krebs (2009) memaparkan bahwa jika pada 1901-1945 Hadiah Nobel Perdamaian difokuskan pada pencapaian kandidat dalam mewujudkan perdamaian, pasca-Perang Dunia II Komite Nobel Norwegia mengadopsi perspektif yang lebih luas.

Pertama, kini perdamaian banyak disandingkan dengan kesejahteraan manusia, terutama keamanan insani. Inilah mengapa peran Grameen Bank dan Muhammad Yunus dalam memajukan pembangunan diapresiasi Hadiah Nobel Perdamaian 2006, atau Al Gore dan Intergovernmental Panel on Climate Change diganjar Hadiah Nobel Perdamaian 2007 untuk peran mereka meningkatkan kesadaran tentang pemanasan global.

Kedua, Komite Nobel Norwegia semakin kerap berfokus pada tatanan politik domestik. Krebs menunjukkan bahwa antara 1946 dan 1970, hadiah Nobel Perdamaian dua kali dianugerahkan kepada pembangkang politik demi mendorong perubahan politik di Afrika Selatan (Albert Lutuli pada 1960) dan Amerika Serikat (Martin Luther King Jr pada 1964). Antara 1971 dan 2009, hadiah tersebut bahkan diberikan sepuluh kali untuk tujuan serupa; dan setelah Liu, kini bertambah menjadi sebelas kali.

Dengan pergeseran tersebut, Krebs melihat bahwa Hadiah Nobel Perdamaian kini cenderung mengadopsi pendekatan ”aspirasional” relatif terhadap pendekatan pencapaian. Individu atau organisasi yang bahkan baru mewujudkan sedikit dari tujuan mereka patut diganjar Hadiah Nobel Perdamaian demi menghasilkan suatu dampak politik positif. Dengan demikian, penganugerahan Nobel Perdamaian adalah tindakan politik.

Geir Lundestad, Sekretaris Komite Nobel Norwegia, menyebutkan bahwa jika hadiah Nobel Perdamaian dimaksudkan untuk menegakkan perdamaian dunia, jelas tujuan tersebut gagal. Namun, dalam keterbatasannya, kita tidak mungkin mengabaikan peran menentukan Hadiah Nobel Perdamaian.

Misalnya, terdapat perkembangan positif di Indonesia dan Timor Leste setelah Nobel Perdamaian 1996 dianugerahkan kepada Uskup Belo dan Ramos- Horta. Akan tetapi, tidak jarang rezim-rezim penindas justru semakin brutal terhadap penerima Nobel Perdamaian, sebagaimana kasus Andrei Sakharov (1975) di Uni Soviet atau Shirin Ebadi (2003) di Iran.

Dengan implikasi tersebut, orang tidak dapat mengabaikan signifikansi Hadiah Nobel Perdamaian bagi perubahan politik. Pada sisi lain, dengan kesadaran bahwa penganugerahan Hadiah Nobel Perdamaian adalah suatu tindakan politik, kehendak untuk mendorong perubahan patut ditimbang sebagai suatu pendekatan yang tetap sejalan dengan kehendak Alfred Nobel, terutama ”upaya terbesar atau terbaik” untuk kesejahteraan manusia.

Sikap China

Pemerintah China kerap digugat dunia karena kebijakan-kebijakan brutal mengekang kebebasan warga negaranya. Pada 1989, misalnya, pemberangusan gerakan protes di Lapangan Tiananmen berujung pembantaian oleh Tentara Pembebasan Rakyat. Tetapi, Liu Xiaobo percaya, gerakan non-kekerasan efektif menekan Pemerintah China dan mencegah pertumpahan darah.

Intensitas gerakan Liu sangat mengusik Pemerintah China yang memandangnya sebagai upaya subversi terhadap kekuasaan negara. Untuk Piagam 08, yang dimaksudkan sebagai suatu tuntutan bagi reformasi politik dan penghargaan HAM, Pemerintah China menangkap Liu. Pada 2009, pengadilan Beijing menjatuhkan hukuman penjara 11 tahun ditambah pencabutan hak politik dan kewargaan Liu.

Komite Nobel Perdamaian menyebut bahwa penghargaan diberikan kepada Liu untuk perjuangan panjang dan non-kekerasan yang diupayakannya bagi HAM di China. Ini semakin menunjukkan kecenderungan Komite Nobel Perdamaian mendorong perubahan politik internal.

Tanggal 10 Desember 2010 mestinya menjadi hari yang membanggakan bagi Liu dan dunia, mengingat perjuangan untuk perdamaian dunia belum padam menghadapi despotisme. Tetapi, Pemerintah China menghalangi kehadiran Liu atau kerabatnya, yang mengingatkan pada larangan rezim Nazi terhadap jurnalis Carl von Ossietzky pada 1936.

Sejak awal Pemerintah China menentang penghargaan bagi Liu, yang mereka sebut sebagai intervensi terhadap masalah hukum China. Terakhir bahkan mereka mencemooh Komite Nobel Norwegia sebagai sekawanan badut. Pemerintah China juga secara agresif menekan negara-negara di dunia untuk tidak menghadiri perayaan penerimaan Hadiah Nobel 2010. Selain China, banyak negara juga telah menyatakan ketidakhadirannya dan sangat mungkin Indonesia juga tidak akan mengirimkan duta besarnya pada acara tersebut.

Ketidakhadiran sebagian politisi dan diplomat dalam seremoni penerimaan Hadiah Nobel jelas tidak akan menurunkan signifikansi Nobel Perdamaian. Sebab, substansi perdamaian dunia lebih ditentukan oleh tindakan nyata memenuhi tuntutan keutamaan nilai-nilai kemanusiaan ketimbang perayaan itu sendiri.

Semoga sejarah tetap berpihak pada kebebasan dan perdamaian dunia tidak berakhir semata sebagai suatu mimpi.

One response to “Politik Intrik Nobel Perdamaian

  1. perdamaian adalah harga mati bagi seluruh dunia untuk mempertahankan dari kehancuran.perjuangan dalam bentuk apapun yang menghindari dari pertikaian, pertumpahan darah, perselisihan dan peperangan dan yang dapat menyesengsarakan manusia harus selelau diperjuangkan.china elah membuktikan dirinya bahwa dia cinta kehnacuran dan tidak cinta perdamaian.

Leave a comment