Monthly Archives: May 2023

Akibat Kristenfobia … Bayi Umur 2 Tahun Dihukum Penjara Seumur Hidup

Korea Utara menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada seorang balita lantaran keluarganya kepergok menyimpan Alkitab di rumah. Kabar itu terungkap dalam laporan terbaru Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. Namun, kasus ini terjadi pada 2009 silam.

Laporan Kemlu AS bulan ini menyoroti ihwal kebebasan beragama internasional. Laporan itu salah satunya merujuk data Korea Future, sebuah organisasi non-pemerintah yang mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia di Korut. “Satu kasus melibatkan penangkapan sebuah keluarga pada 2009 karena praktik keagamaan mereka dan kepemilikan Alkitab,” tulis laporan Kemlu AS.

“Seluruh keluarga, termasuk seorang anak berusia dua tahun, dijatuhi hukuman seumur hidup di kamp penjara politik.”

Laporan Korea Future itu didasarkan pada wawancara antara 2007-2020 kepada 244 korban penganiayaan agama, baik yang pernah ditahan, disuruh kerja paksa, disiksa, tak mendapat keadilan, hingga mendapat kekerasan seksual imbas memeluk agama Kristen.

Di negara itu, diperkirakan ada sekitar 200 ribu hingga 400 ribu orang Kristen klandestin atau penganut agama Kristen secara sembunyi-sembunyi. Mereka utamanya berada di Barat Korut di mana banyak Kristiani yang menetap di sana usai terjadi “ledakan” minat terhadap kepercayaan tersebut pada 1907.

Lebih lanjut, temuan Korea Future ini pun mencerminkan paranoia rezim terhadap agama serta kurangnya toleransi terhadap kepercayaan mana pun, kecuali pengabdian mutlak kepada keluarga pemimpin mereka, Kim Jong Un.

Selama beberapa dekade, rezim Korut memang berupaya menumpas agama Kristen. Pemerintah Korut diduga takut akan pengaruh gereja setelah mengetahui besarnya peran agama tersebut dalam runtuhnya Tirai Besi di Eropa pada 1980-an.

Menurut Open Doors USA, sekitar 50 ribu sampai 70 ribu warga Korut diperkirakan ditahan di penjara karena menganut agama Kristen. Laporan “Daftar Pantauan Dunia” Open Doors yang rilis awal tahun ini juga menyebut Pyongyang telah mengintensifkan perburuan terhadap umat Kristen, yakni memburu gereja bawah tanah.

Atas kasus ini, Kemlu AS pun menyimpulkan bahwa pihak berwenang Korut “hampir sepenuhnya menyangkal hak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama.” “Serta menetapkan pemerintah dalam banyak kasus melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,” demikian laporan Kemlu AS, seperti dikutip The Telegraph.

Erdogan Bangkitkan Nostagia Masa Lalu Dengan Merayakan Kemenangan Ottoman Lawan Romawi

Turki memperingati 570 tahun penaklukan Konstantinopel atau sekarang Istanbul oleh Kekaisaran Ottoman pada Senin (29/5). Peringatan ini berlangsung sehari usai Recep Tayyip Erdogan menang di putaran kedua pemilihan umum (Pemilu) Turki pada Minggu (28/5).

Usai menang suara versi hitung cepat, pada Senin (29/5) Erdogan bertolak ke Istanbul dan menyampaikan pidato deklarasi kemenangannya. Di sana, ribuan orang pendukung Erdogan berkumpul sembari berteriak “Allahu akbar.” Pidato kemenangan Erdogan ini bertepatan dengan peringatan 570 tahun penaklukan Konstantinopel. Beberapa pihak menilai kesamaan yang kebetulan ini kian menguatkan posisi dia di negara tersebut, demikian dikutip Hurriyet Daily News.

Setiap tahun ada serangkaian acara untuk memperingati kemenangan Turki Utsmani merebut Konstantinopel dari Kekaisaran Romawi Timur. Beberapa acara itu di antaranya salat subuh di Masjid Agung Hagia Sophia. Hagia Sophia sempat menjadi sorotan usai Erdogan mengubah fungsi bangunan bersejarah ini dari museum menjadi masjid pada 2020.

Mereka yang hadir salat subuh di antaranya kepala badan keagamaan tertinggi Turki Dinayet, Ali Erbas; Menteri Dalam Negeri, Suleyman Soylu; dan Gubernur Istanbul, Ali Yerlikaya. Turki juga menggelar pertunjukan cahaya di Menara Maiden untuk memeriahkan peringatan tersebut. Selain itu, Kota Istanbul menggelar acara yang dihadiri banyak orang di Distrik Maltepe.

Pertunjukan cahaya juga digelar di Museum Sejarah Panorama 1453 dan Penaklukan Istanbul bagi murid-murid. Di museum tersebut, para pelajar akan menikmati ilustrasi 3D penaklukan Istanbul lalu mengekspresikan perasaan dan pendapat mereka melalui esai atau lukisan.

Konstantinopel pernah menjadi kota yang direbutkan banyak pihak karena lokasinya. Kota ini menjadi tempat transit rempah-rempah dan penghubung aktivitas perdagangan antara Asia dan Eropa. Kota itu juga pernah menjadi ibu kota Bangsa Romawi Timur sejak 324 Masehi hingga awal abad ke-15 Masehi.

Kemudian pada 28 Mei 1453, Sultan Mehmed II melancarkan serangan akhir ke Konstantinopel. Sehari kemudian, ia berhasil menaklukkan kota ini. Sejumlah netizen Turki banyak yang menyamakan kemenangan Erdogan di pemilu ini dengan penaklukan Konstantinopel.

“Turki mendukung Erdogan di peringatan Konstantinopel ke tangan Ottoman,” tulis dia. Netizen lain mengatakan 29 Mei 1453 sama pentingnya dengan 29 Mei 2023. “29 Mei 1453 mengubah sejarah umat manusia. 29 Mei 2023 sama pentingnya, ujar netizen itu.

Etnis Minoritas Serbia Di Kosovo Bentrok Dengan Pasukan NATO

Sekitar 30 tentara penjaga perdamaian Aliansi Pertahanan Negara Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) terluka imbas bentrok dengan demonstran Serbia di utara Kosovo, Senin (29/5).
KFOR, misi penjaga perdamaian yang dipimpin NATO ke Kosovo, mengecam keras insiden tersebut.

“Saat menghadapi barisan massa paling aktif, beberapa prajurit dari kontingen KFOR Italia dan Hungaria menjadi sasaran serangan yang tidak beralasan dan mengalami luka trauma dengan patah tulang dan luka bakar akibat ledakan alat pembakar,” demikian keterangan KFOR, seperti dikutip Reuters, Senin (29/5). Menteri Pertahanan Hungaria Kristof Szalay-Bobrovniczky, mengonfirmasi tujuh tentara mereka ikut terluka parah dan akan dibawa pulang untuk mendapat perawatan. Dia menyebut sebanyak 20 tentara, termasuk tentara Italia, terluka dalam insiden tersebut.

“Apa yang terjadi benar-benar tidak dapat diterima dan tidak bertanggung jawab,” kata Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni dalam sebuah pernyataan. “Sangat penting untuk menghindari tindakan sepihak lebih lanjut dari pihak otoritas Kosovo dan bahwa semua pihak bersangkutan segera mengambil langkah mundur untuk meredakan ketegangan.”

Ketegangan di utara Kosovo meningkat usai sejumlah etnis Albania menjabat sebagai wali kota beberapa wilayah di sana yang mayoritas adalah warga keturunan Serbia. Pemilihan wali kota itu sendiri sempat diboikot oleh warga Serbia di sana.

Masyarakat Serbia marah karena tak sudi dipimpin oleh orang yang jelas-jelas tidak dipilih oleh mereka. Warga Serbia di kawasan menginginkan dipimpin oleh pemerintah daerah yang ‘dibekingi’ Beograd.

Karena protes ini, pada Jumat (26/5), tiga dari empat walikota etnis Albania sampai-sampai dikawal polisi ke kantor mereka.

Mereka dilempari batu oleh masyarakat Serbia yang kemudian dibalas aparat dengan tembakan gas air mata dan meriam air demi membubarkan pengunjuk rasa. Protes pun berlanjut hingga memicu bentrok dan melukai prajurit NATO di kawasan tersebut. Presiden Serbia Aleksandar Vucic mengatakan 52 orang Serbia terluka, dengan tiga di antaranya menderita luka serius. Vucic menuding Perdana Menteri Kosovo Albin Kurti menciptakan ketegangan di wilayah tersebut. Dia lantas meminta warga Serbia di Kosovo untuk menghindari bentrokan dengan tentara NATO.

Di sisi lain, Presiden Kosovo Vjisa Osmani justru menuding Vucic mencoba mendestabilisasi negaranya.

“Bangunan ilegal Serbia yang berubah menjadi geng kriminal telah menyerang polisi Kosovo, petugas KFOR dan jurnalis. Mereka yang menjalankan perintah Vucic untuk mengacaukan wilayah utara Kosovo harus diadili,” twit Osmani.

Buntut ketegangan ini, Menteri Pertahanan Serbia Milos Vucevic mengatakan Vucic meningkatkan kesiapan tempur tentara mereka ke tingkat tertinggi. “Ini menyiratkan bahwa segera sebelum pukul 02.00, Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Serbia mengeluarkan instruksi tambahan untuk penempatan unit tentara di posisi tertentu yang ditunjuk,” kata Vucevic.

Warga Serbia di utara Kosovo selama ini tidak pernah menerima deklarasi kemerdekaan dari negaranya. Selama lebih dari dua dekade usai pemberontakan Albania Kosovo vs pemerintahan Serbia, mereka masih memandang Beograd sebagai ibu kota mereka.

Lebih dari 90 persen populasi di Kosovo sendiri merupakan etnis Albania. Kendati begitu, warga Serbia di utara Kosovo menuntut penerapan kesepakatan 2013 yang dimediasi Uni Eropa untuk membentuk asosiasi kotamadya otonom di wilayah mereka.

Perang Eropa Lawan Rusia Sudah Didepan Mata

Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Ceko, Karel Rehka, mewanti-wanti perang Rusia vs Aliansi Pertahanan Negara Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) bisa pecah. Menurut Rehka, persiapan dan pencegahan penting untuk mengantisipasi skenario terburuk seperti itu menyusul invasi Rusia ke Ukraina yang tak kunjung mereda dan bisa saja meluas.

“Perang antara Rusia dan NATO, yang merupakan skenario terburuk bagi kami, bukan tidak mungkin, itu mungkin,” ucap Rehka kepada Novinky seperti dikutip Ukrainska Pravda pada Senin (29/5). Rehka menekankan militer Ceko sedang mencoba mempersiapkan potensi konflik yang intens.

Sebab, sejak invasi ke Ukraina berlangsung, ia menganggap Rusia “sekarang berada di jalur menuju konflik” dengan NATO. “Republik Ceko adalah anggota NATO dan ini membawa manfaat tetapi juga membebankan kewajiban tertentu. Oleh karena itu, jika perang pecah, sejumlah besar tentara Ceko akan bergabung dalam pertempuran sesuai dengan rencana aliansi (NATO),” papar Rehka.

Rehka menekankan berkaca dari yang terjadi pada Ukraina, ia merasa perlu untuk memperkuat keamanan nasional dan khususnya untuk mengatasi ketergantungan pada pasokan energi Rusia sesegera mungkin. Agresi Rusia ke Ukraina masih berlangsung dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

Meski begitu, makin banyak laporan yang memaparkan bahwa pasukan Rusia di medan perang Ukraina semakin kehabisan tenaga dan logistik. Tentara bayaran Rusia, Wagner Group, bahkan membeberkan kelemahan dan keburukan pasukan Presiden Vladimir Putin mulai dari kekurangan logistik, senjata, koordinasi kacau, hingga tak sedikit yang kabur dari posisi mereka di medan perang.

Namun, kelemahan itu tampaknya tidak menurunkan tensi peperangan.

Setidaknya lima pesawat Ukraina hancur setelah Rusia menggempur satu fasilitas militer di barat negara itu pada Senin (29/5).

“Lima pesawat terpaksa tak dipakai lagi dalam misi,” demikian pernyataan pihak berwenang di kota tempat fasilitas militer itu berdiri, Khmelnytsky. Berdasarkan pernyataan itu, gempuran Rusia tersebut juga memicu kebakaran. Komandan angkatan bersenjata Ukraina, Valery Zaluzhny, mengatakan pasukannya menembak jatuh 37 rudal dari “sekitar 40 rudal” yang ditembakkan Rusia.

Selain itu, mereka juga menghancurkan 29 drone dari “sekitar 35 drone” yang dikerahkan Rusia ke Ukraina. Serangan ini pecah hanya berselang sehari setelah Rusia melancarkan gempuran besar-besaran di Kyiv pada Sabtu lalu. Rusia memang sudah mewanti-wanti negara Barat bahwa mereka akan meningkatkan gempuran ke Ukraina.

Ancaman itu terlontar ketika Rusia memprotes keputusan Amerika Serikat untuk memberikan lampu hijau atas pengiriman jet tempur F-16 ke Ukraina.

Recep Tayyip Erdogan Kembali Terpilih Menjadi Presiden Turki

Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengucapkan selamat kepada Recep Tayyip Erdogan atas kemenangannya yang dinilai sangat layak dalam pemilihan presiden Turki putaran kedua pada Minggu (28/5). “Selamat kepada Presiden Recep Tayyip Erdogan atas kemenangan besarnya yang layak di Turki,” kata Trump dalam media sosial miliknya, Truth Social.

“Saya mengenal (Erdogan) dengan baik, dia adalah seorang teman. Saya mengetahui secara langsung betapa dia mencintai negaranya dan orang-orang hebat Turki, yang telah dia angkat ke posisi yang baru dan dihormati!” tulis Trump. Ketua Dewan Pemilihan Tertinggi Turki (YSK) mengumumkan bahwa Erdogan kembali terpilih menjadi Presiden Turki dalam pemilihan presiden putaran kedua. Berbicara kepada wartawan di Ankara, Ketua YSK Ahmet Yener mengatakan bahwa Erdogan memenangkan kursi kepresidenan Turki atas penantang oposisi Kemal Kilicdaroglu.

Sejauh ini sudah 99,43 persen kotak suara dibuka.

Menurut perhitungan yang masuk, tetapi belum disahkan, Erdogan meraih 52,14 persen suara, sementara Kilicdaroglu mendapatkan 47,86 persen suara. Recep Tayyip Erdogan kembali terpilih sebagai presiden Turki pada putaran kedua pemilu presiden, demikian pimpinan Dewan Pemilu Turki (YSK) pada Minggu waktu setempat.

Ketua YSK Ahmet Yener mengatakan Erdogan unggul atas pesaingnya Kemal Kilicdaroglu pada pemilu presiden Turki putaran kedua. Berdasarkan hasil suara yang belum disahkan, petahana Turki ini memperoleh 52,14 persen suara, sementara Kilicdaroglu mendapatkan 47,86 persen suara, kata Yener kepada pers di Ankara.

Yener menambahkan sejauh ini sudah 99,43 suara dibuka.

Dalam pidatonya di Istanbul pada Minggu sore, Erdogan mengatakan 85 juta warga Turki adalah pemenang pilpres tahun ini. Lebih dari 64,1 juta orang terdaftar sebagai pemilih, termasuk sekitar 1,92 juta orang yang berada di luar negeri yang sudah lebih dulu memberikan suaranya. Hampir 192.000 kotak suara dipersiapkan di seantero Turki.

Pada putaran pertama 14 Mei tidak ada calon presiden yang menembus ambang batas 50 persen suara sehingga pilpres dilanjutkan ke putaran kedua, meski Erdogan mengantongi 49,52 persen suara. Pada hari itu, Aliansi Rakyat pimpinan Erdogan juga menjadi pemenang kursi mayoritas parlemen

Petahana Recep Tayyip Erdogan memang mengumpulkan suara terbanyak dari pemilihan presiden Turki pada 14 Mei, tetapi tak bisa langsung memenangkan pemilu itu karena masih di bawah ambang batas 50 persen sehingga pemilihan presiden mesti dilanjutkan ke putaran kedua. Dia tak saja mengungguli pesaing terdekatnya, Kemal Kilicdaroglu, tapi juga mementahkan ramalan berbagai jajak pendapat sebelum pemilu bahwa dia akan langsung disingkirkan oleh Kilicdaroglu.

Namun demikian, justru dengan bekal 49,5 persen dari pilpres putaran pertama, ditambah suara mayoritas dalam parlemen Turki yang dimenangkan Aliansi Rakyat yang dipimpinnya, Erdogan diperkirakan bakal memenangkan pilpres putaran kedua pada 28 Mei.

Akan halnya Kilicdaroglu yang diusung koalisi Aliansi Nasional yang beroposisi dengan Erdogan dan beranggotakan enam partai dipimpin Partai Rakyat Republik (CHP), mengumpulkan 45 persen, jauh di bawah hasil berbagai jajak pendapat sebelum pemilu.

Kilicdaroglu yang memimpin CHP selama 13 tahun terakhir, gagal memanfaatkan pergeseran opini publik dalam masyarakat Turki yang mengkritik pemerintahan Erdogan dalam memerangi korupsi dan mengatasi krisis ekonomi serta dalam menangani dampak gempa di Turki tenggara awal Februari silam.

Sebagian basis suara Kilicdaroglu malah direbut Sinan Ogan yang diusung sebuah partai nasionalis. Ogan yang meraih 5 persen suara bakal menjadi penentu dalam pilpres putaran kedua. Berdasarkan laporan dan analisis media Turki dan asing, Erdogan mendapatkan dukungan kaum konservatif, nasionalis dan kelompok religius, khususnya di Turki bagian Asia.

Erdogan bahkan menangguk 70 persen suara Provinsi Konya yang menjadi satu dari tiga provinsi terbesar di Turki dan berpenduduk mayoritas kaum religius. Erdogan ternyata juga masih mampu menjadi pemenang suara terbanyak di Kahramanmaras yang Februari silam menjadi provinsi terparah diguncang gempa bumi.

Erdogan memang sempat dikritik keras karena lamban menangani gempa bumi 6 Februari, tetapi tekadnya untuk segera merekonstruksi daerah-daerah terdampak gempa, telah memikat pemilih di daerah-daerah terdampak gempa, termasuk Hatay di mana banyak bangunan ambruk dirobohkan gempa. Di Hatay, Erdogan nyaris memperoleh 50 persen suara.

Kilicdaroglu sendiri hanya bisa menang di kota-kota besar, termasuk Istanbul dan Ankara.

Reformasi politik dan ekonomi, serta kebebasan yang diserukan Kilicdaroglu hanya bergaung di daerah perkotaan. Itu tidak saja membuat suara dia terpaut jauh dari Erdogan, tetapi juga menyimpulkan agenda reformasinya tak memikat kebanyakan rakyat Turki. Hal itu ditambah oleh sikapnya yang mendorong dialog dengan minoritas Kurdi, yang ditentang keras oleh kaum nasionalis yang belakangan menjadi warna dominan dalam spektrum politik Turki.

Banyak yang menyebut pemilu Turki putaran pertama menampilkan wajah lain politik Turki yang selama ini umum menampilkan dikotomi Islam politik melawan sekularisme atau kaum konservatif melawan kaum liberal, yang memang melekat pada Erdogan dan Kilicdaroglu. Padahal, ada fenomena lain yang lebih besar yang membuat suara Kilicdaroglu jeblok dan sebaliknya menaikkan suara Erdogan. Dan itu adalah kaum nasionalis dan gerakan nasionalisme mereka.

Baik dalam kubu Erdogan maupun kubu Kilicdaroglu, kaum nasionalis menjadi penentu kecenderungan suara. Kaum nasionalis pimpinan Devlet Bahceli dari Partai Gerakan Nasionalis (MHP) adalah mitra terpenting Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).

Pun pada kubu Kilicdaroglu yang memimpin CHP, sekutu terkuatnya adalah Partai Iyi yang berhaluan nasionalis. Partai ini didirikan pada 2017 sebagai sempalan MHP setelah sebagian tokoh MHP menolak partai ini berkoalisi dengan AKP pimpinan Erdogan. Bahkan, Sunan Ogan yang memperoleh suara 5 persen dari pilpres putaran pertama 14 Mei itu adalah juga nasionalis yang juga bekas tokoh MHP.

Ajang pertarungan kaum nasionalis

Dalam kata lain, pemilu Turki kali ini adalah ajang pertarungan kaum nasionalis, yang memiliki sifat dan orientasi politik berbeda dari gerakan Islam politik pimpinan Erdogan dan sekularisme yang dimajukan Kilicdaroglu. MHP tadinya berhaluan ultranasionalis yang menisbikan persatuan Turki dan sebaliknya sangat mengharamkan separatisme yang selama ini diam-diam atau terang-terangan diaspirasikan oleh warga kaum minoritas Kurdi.

Partai yang didirikan oleh pensiunan tentara bernama Alparslan Turkes pada 1960-an itu awalnya partai gurem. Lama kelamaan membesar dengan garis nasionalis yang lebih lembut setelah Devlet Bahceli memimpin partai itu. Partai ini menolak habis-habisan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dinyatakan terlarang di Turki sehingga menjadi pihak yang paling kencang menentang proses perdamaian dengan PKK pada awal 2010-an.

Lalu, setelah kudeta gagal terhadap Erdogan yang dirancang anasir-anasir gerakan pimpinan ulama Fethullah Gulen pada 2016, MHP berubah menjadi mitra terpercaya AKP dan Erdogan. Tokoh mereka sendiri, Bahceli, menggantikan dua tokoh moderat, Abdullah Gul dan Ahmet Davutoglu, sebagai sekutu terpercaya Erdogan.

Namun, kemesraan MHP dengan Erdogan-AKP tidak disukai sejumlah tokoh MHP yang lain. Mereka kemudian membentuk Partai Iyi, sedangkan lainnya memutuskan jalan seperti, termasuk Sinan Ogan yang bakal menjadi penentu pilpres putaran kedua nanti. Masuknya kaum nasionalis dalam lingkaran politik dan kekuasaan Turki membuat narasi politik pun menjadi keras nan radikal, khususnya dalam kaitannya dengan separatisme dan persatuan nasional Turki.

Kekerasan pandangan nasionalis mereka mendorong Erdogan menjadi semakin keras terhadap separatis Kurdi, tidak saja di dalam negeri, namun juga di luar negeri, khususnya di perbatasan Turki dengan Suriah, Irak dan Iran. Bahkan, salah satu alasan Turki terlibat jauh di Suriah dan perang global melawan ISIS di Suriah dan Irak beberapa tahun lalu, adalah keinginannya menjinakkan Kurdi Irak dan Suriah agar tak menjadi kepanjangan tangan Kurdi Turki.

Meskipun begitu, dalam awal-awal perang saudara di Suriah dan perang global melawan ISIS, Turki masih menoleransi pejuang Kurdi di Suriah dan Irak, hanya karena pasukan Kurdi sangat diandalkan Amerika Serikat dan Barat dalam melawan ISIS dan pasukan Presiden Suriah Bashar Al Assad.

Turki memperlihatkan wajah aslinya manakala konflik di Suriah memasuki fase akhir, dengan mengintervensi wilayah utara Suriah guna menjinakkan pasukan Kurdi Suriah. Kini, pemilu 2023 memperlihatkan kaum nasionalis di Turki semakin kuat dan berpengaruh di negara yang menapak di dua benua tersebut.

Mereka berpotensi menjadi gerakan politik ketiga yang bisa menentukan masa depan Turki, setelah sekularisme dan Islam politik. Mereka tak hanya bisa mengubah lanskap politik Turki, namun juga bagaimana ekonomi nasional dikelola dan bagaimana Turki berhubungan dengan dunia internasional.

Barat mengkhawatirkan kemenangan Erdogan akan mendekatkan Turki kepada Rusia dan menjadikan Turki menjadi duri dalam daging di Eropa yang sudah terasa ketika mereka mempersulit keanggotaan Swedia dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Beberapa negara Timur Tengah juga mengkhawatirkan kemenangan Erdogan bakal membuat Turki semakin agresif dan ekspansif, termasuk Suriah yang mengkhawatirkan kehadiran permanen pasukan Turki di wilayah utaranya.

Kaum nasionalis juga menjadi pihak yang paling keras menentang kehadiran jutaan pengungsi Arab Surih di Turki.

Kemenangan Erdogan bisa mendorong Turki mengambil kebijakan tak menerima pengungsi yang akibatnya menjadi masalah besar bagi Surian dan Timur Tengah pada umumnya. Inilah salah satu dari dimensi dan realitas baru dalam politik Turki saat ini yang tersingkap dari pemilu 14 Mei.

Presiden Belarus Akan Bagikan Senjata Nuklir Gratis Untuk Negara Yang Mau Bergabung Dalam Aliansi Rusia

Presiden Belarus Alexander Lukashenko menyatakan jika ada negara yang ingin bergabung dengan serikat Rusia-Belarus, maka akan ada “senjata nuklir untuk semua.” Rusia pekan lalu melanjutkan rencana menempatkan senjata nuklir di Belarus. Ini pertama kali Rusia menempatkan arsenal perang di luar wilayahnya sejak Uni Soviet runtuh pada 1991. Ini juga membuat Barat khawatir.

Dalam sebuah wawancara yang disiarkan televisi negara Rusia pada Minggu malam, Lukashenko yang merupakan sekutu paling setia Presiden Vladimir Putin, menegaskan bahwa secara strategis harus dipahami bahwa Minsk dan Moskow mempunyai cara unik untuk menyatu.

“Tidak ada yang menentang Kazahkstan atau negara-negara lain untuk membina hubungan yang sama eratnya dengan hubungan kami dengan Federasi Rusia,” katanya. “Jika ada yang khawatir… (maka) jawabnya sederhana: bergabunglah dengan Serikat Negara Belarus dan Rusia. Itu saja, nanti akan ada ‘senjata nuklir untuk semua'”.

​​​​​​​Lukashenko menambahkan bahwa apa yang dia sampaikan ini adalah pandangan pribadinya, bukan pandangan Rusia.

Rusia dan Belarus secara resmi menjadi bagian dari Negara Serikat, yaitu persatuan tanpa batas negara dan persekutuan antara kedua negara bekas Uni Soviet itu. Rusia menggunakan wilayah Belarus sebagai pangkalan untuk melancarkan serangan ke Ukraina pada Februari 2022, dan sejak itu operasi militer mereka semakin intensif, termasuk kegiatan latihan bersama di bumi Belarus.

Pada Minggu, Kementerian Pertahanan Belarus mengumumkan unit baru S-400 sudah tiba dari Moskow dan sudah kondisi siaga tempur. S-400 adalah sistem rudal dari udara ke udara.