Bagi ribuan perempuan dan gadis muda Irak, konflik yang dimulai tahun 2003 hanyalah awal dari penderitaan mereka. Dalam kekacauan perang dan kebingungan, pelanggaran hukum dan kemiskinan yang mengikuti perang itu, tak terhitung jumlah perempuan Irak yang telah jadi korban perdagangan seksual, ada yang di Irak dan ada yang lain dijual melewati perbatasan negara itu.
Namun masalah perdagangan manusia itu hampir tidak dilaporkan. Menurut sejumlah peneliti sebagaimana diberitakan CNN, Rabu (9/11/2011), masalah itu tenggelam dalam bayang-bayang gabungan persoalan korupsi, tabu terkait agama dan budaya dan kurangnya minat pemerintah setempat untuk mengatasi problem itu.
Sebuah laporan yang dirilis kelompok swadaya masyarakat yang berbasis di London, yaitu Social Change for Education in the Middle East (SCEME), Rabu, berharap bisa mengubah kondisi itu. Laporan berjudul Karamatuna, atau Martabat Kami, itu menyoroti penderitaan para perempuan belia, berusia 10 atau 12 tahun, yang telah diperdagangkan pasca-perang Irak ke negara-negara seperti Suriah, Yordania, Lebanon, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi untuk eksploitasi seksual. Sejumlah korban lain yang diperdagangkan di Irak berakhir di klub malam atau rumah bordil, terutama di Baghdad. Menurut laporan itu, sejumlah rumah bordil itu “telah dibangun murni untuk memenuhi permintaan yang berasal dari para personel lembaga-lembaga Amerika Serikat.”
Iman Abou-Atta, perempuan peneliti klinis yang mengorbankan karirnya tahun lalu demi menghasilkan penelitian itu, mengatakan pada rapat dengar pendapat di House of Lords di London, saat meluncurkan laporan itu, bahwa ia terdorong untuk menyelidiki masalah itu setelah menyadari luasnya kebungkaman di sekitar persoalan tersebut. “Apa yang saya temui adalah pintu yang tertutup, rasa malu, keengganan pihak berwenang Suriah dan Yordania dan kebungkaman masyarakat sipil terhadap masalah ini,” tulisnya dalam kata pengantar untuk penelitian itu seperti dikutip CNN.
Abou-Atta juga mengalami hambatan dari pemerintah Inggris dan AS yang kehadiran pasukan mereka di Irak telah menjadi faktor yang berkontribusi pada masalah itu ketika ia mengangkat kasus tersebut. Walau eksploitasi seksual ada di Irak, sebagaimana juga di tempat lain, jauh sebelum perang dimulai pada tahun 2003, “invasi dan ketidakstabilan yang menyusul setelah invasi telah menciptakan lingkungan di mana para gadis belia dan perempuan menjadi jauh lebih rentan terhadap perdagangan manusia,” kata Abou-Atta pada hearing di House of Lords itu.
Sebuah organisasi non-pemerintah Irak, yaitu Organisasi untuk Kebebasan Perempuan Irak, memperkirakan bahwa sekitar 4.000 perempuan, seperlima dari mereka berusia di bawah 18, menghilang dalam tujuh tahun pertama usai perang. Walau data kasar sulit diperoleh, penelitian kelompok itu menunjukkan banyak perempuan yang diperdagangkan oleh kelompok kriminal nasional atau internasional, atau dijual dalam perkawinan paksa oleh keluarga mereka sendiri
Ratusan ribu warga Irak mengungsi atau dibuat jadi pengungsi karena perang. Sejumlah pria telah memaksa saudari perempuan mereka untuk menjadi pekerja seks demi mendapatkan uang buat keluarga. Yang lainnya mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Sebuah kasus yang dikutip penelitian itu adalah kasus Amira yang berumur 17 tahun. Ayah Amira yang miskin menerima tawaran seorang pria untuk mempekerjakan gadis itu, yaitu merawat isteri yang cacat dari si pria, dengan bayaran setara 200 dollar AS (sekitar Rp 1,8 juta) per bulan. Pada kenyataannya, selain merawat isteri cacat itu, Amira juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tak hanya itu, ia dipaksa berhubungan seks dengan anak laki-laki dan teman-teman pria itu.
Menurut laporan itu, jaringan perdagangan manusia yang profesional juga menargetkan perempuan muda setelah mereka meninggalkan rumah untuk melarikan diri dari pernikahan paksa, pelecehan atau kekerasan. Laporan itu juga mengungkapkan temuan yang mungkin mengejutkan sebagian orang, yaitu banyak para pelaku perdagang manusia di Irak justru perempuan. Menurut Abou-Atta, beberapa dari perempuan pelaku itu sebelumnya telah menjadi korban eksploitasi seksual. Namun yang lain berada dalam bisnis itu demi mendapatkan uang dengan mudah.
Para pelaku perdagangan manusia (trafficker) lainnya adalah sopir taksi yang memikat gadis-gadis dengan menawarkan bantuan palsu lalu membawa mereka ke rumah bordil. Pelaku lain adalah para pria muda yang direkrut oleh jaringan untuk menjebak para gadis muda-rentan ke dalam kawin lari. Setelah itu, para pemuda itu menjerumuskan para perempuan itu ke perbudakan seksual.
Sejumlah korban yang masih muda tertipu karena berpikir lamaran pernikahan itu sepenuh hati, kata Abou-Atta. Setelah dieksploitasi secara seksual lalu dicerai dengan cepat dan dibuang di jalan-jalan, semua kehormatan mereka hilang di mata masyarakat Arab yang konservatif. Mereka kemudian jadi sasaran empuk untuk eksploitasi lebih lanjut. Singkatnya, setelah jatuh ke tangan para trafficker, para korban menghadapi masa depan yang sangat suram.
Seorang gadis, yang diidentifikasi sebagai Shada, ditinggalkan ayahnya di perbatasan Suriah, kata penelitian itu. Dia dijual ke Damaskus. Di sana dia diperkosa lima pria, lalu dijual ke seorang perempuan yang memaksa dia bekerja sebagai pekerja seks di klub malam. Banyak perempuan yang dijerumuskan ke perdagangan seks kemudian merasa terjebak, tidak bisa lari karena ancaman terhadap keluarga mereka dan suramnya masa depan dalam sebuah masyarakat yang konservatif, yang cenderung melihat mereka justru sebagai yang disalahkan karena telah membuat “malu”.
Abou-Atta, yang telah berbicara dengan sejumlah korban perdagangan seks di Lebanon, mengatakan para perempuan itu menunjukkan gambar yang suram. “Pada awalnya itu adalah mimpi buruk,” katanya. “Lalu mereka menyadari tidak ada pilihan, mereka tidak dapat melarikan diri.” Seorang perempuan menceritakan bagaimana saat orang-orang yang telah menjual dirinya mengetahui bahwa ia berencana untuk lari. Orang-orang itu mengancam untuk menghancurkan kehidupan putrinya dengan membuat dirinya jadi malu di depan umum. Maka, perempuan itu memilih untuk tinggal, kata Abou-Atta.
Praktik kejam yang lain, khususnya di Suriah, adalah perkawinan “mut’ah”. Dalam perkawinan model itu seorang gadis dinikahkan demi sebuah bayaran ke seorang pria pada hari Jumat, hanya untuk dicerikan lagi pada hari Minggu. Jadi, perkawinan itu hanya berusia tiga hari. “Penelitian menunjukkan bahwa perkawinan mut’ah ini dilakukan intensif pada musim panas ketika para turis pria dari Teluk mengunjungi Suriah,” kata laporan tersebut. “Meskipun jenis perkawinan ini tidak secara eksplisit disebut prostitusi, itu adalah efek dari eksploitasi seksual, (itu) seringkali dipaksa, sebagai sarana untuk mengamankan mata pencaharian atau menghasilkan keuntungan.”
Meski undang-udang anti-perdagangan manusia dan prostitusi ada di banyak negara di kawasan itu, tekad untuk menegakkan hukum-hukum itu lemah – dan semua hukum gagal untuk memberi perlindungan bagi para korban. Dalam sebuah langkah ke arah yang benar, Suriah memperkuat undang-undang anti-trafficking tahun lalu, kata penelitian itu, dan mempertegas hukuman terhadap para pria yang terlibat dalam perdagangan manusia. Namun, perempuan yang telah dipaksa menjadi pekerja seks terus menghadapi sanksi juga di negara itu. Suriah juga mendeportasi para pengungsi Irak yang ditemukan bekerja secara ilegal di negara itu – termasuk para perempuan yang dipaksa terjun ke dalam perdagangan seks.
Sementara itu, penyediaan tempat-tempat penampungan, perawatan kesehatan atau dukungan psikologis bagi para korban eksploitasi seksual, yang punya kesempatan kecil untuk bekerja, hampir tidak ada di seluruh wilayah itu, kata Abou-Atta. Dia melihat, perbaikan pendidikan dan peningkatan kesadaran sebagai faktor kunci dalam melindungi generasi masa depan para perempuan dan anak perempuan di kawasan itu.
Dia juga berharap untuk melakukan penelitian lapangan lebih lanjut, demi mendukung sedikitnya bukti kuat yang tersedia pada sebuah isu terselubung dalam kerahasiaan itu. Upaya kelompok itu terhambat oleh revolusi Musim Semi Arab, yang membuat akses ke banyak tempat jadi sulit atau berbahaya.
Houzan Mahmoud, dari Organisasi untuk Kebebasan Perempuan Irak, yang menerbitkan laporan sendiri tentang prostitusi di Irak tahun lalu, mengatakan dalam rapat dengar pendapat di House of Lords itu bahwa pemerintah Irak telah menentang kerja kelompoknya dan mencoba untuk memblokir aksesnya ke media. Karean itu, dia mendesak pemerintah Barat untuk berbuat lebih banyak dalam menekan rekan-rekan Arab mereka guna mengatasi eksploitasi seksual, dan untuk memastikan bahwa mereka tidak mengirim para pencari suaka yang rentan kembali ke situasi di mana mereka dapat diperdagangkan lagi.
Para pemimpin agama juga harus memainkan peran dengan menggunakan pengaruh mereka untuk mengubah sikap masyarakat ketimbang menjelek-jelekan para perempuan yang dieksploitasi secara seksual, tambah dia.
Namun, perubahan tidak akan mudah. Di jantung persoalan itu adalah orang-orang yang senang menyerahkan uang demi seks – dan para pejabat korup di perbatasan serta tempat lain yang menutup mata terhadap apa yang terjadi pada perempuan yang rentan. “Masalahnya adalah ada permintaan untuk ini, ada pasar untuk ini,” ujar Mahmoud. “Ini tentang menghasilkan uang dan keuntungan.”