Gedung Kedutaan Besar Jepang di Seoul, Korea Selatan, akan mendapat kawan baru. Namanya, Monumen Perdamaian. Menurut rencana, sebagaimana warta AP dan AFP pada Rabu (28/9/2011), monumen itu bakal dibangun oleh sokongan sejumlah perempuan tua yang mengaku, pada masa sekitar Perang Dunia II, menjadi budak seks tentara Jepang.
Lantaran ide itulah, Jepang pun terkesan berang. “Kementerian Luar Negeri Jepang telah meminta kami untuk mencegah rencana pendirian monumen perdamaian,” kata pejabat Kemenlu Korsel.
Namun permintaan tersebut, menurut seorang pejabat, sulit direalisasikan pemerintah Korsel. Soalnya, pembangunan monumen di negara mereka tidak memerlukan persetujuan pemerintah
Sebuah LSM yang mewakili korban perbudakan seks tentara Jepang -seperti dilaporkan kantor berita Yonhap- menyatakan monumen akan dibangun pada Desember nanti, bertepatan dengan 1.000 hari unjuk rasa menuntut pertanggungjawaban pemerintah Jepang atas kejadian tersebut.
Tiap Rabu
Demonstrasi atas perilaku tentara Jepang pada masa perang digelar secara rutin oleh para korban setiap hari Rabu di depan Kedutaan Besar Jepang. Mereka meminta permintaan maaf dan pemberian kompensasi langsung dari pemerintah Jepang.
Korsel sebelumnya telah mengajukan upaya perundingan dengan Jepang tentang masalah ini. Kendati begitu, Jepang tidak menanggapinya.
Persoalan perbudakan seks oleh tentara Jepang selama menduduki Korea, bagaimanapun menjadi isu paling sensitif dalam hubungan kedua negara. Korea diduduki oleh Jepang secara brutal mulai tahun 1910 sampai 1945.
Jepang sejauh ini telah mengakui bahwa tentaranya selama masa perang menggunakan budak seks, tetapi menolak memberikan kompensasi langsung kepada korban. Alasan yang selalu dikemukakan adalah bahwa masalahnya sudah dituntaskan dalam perjanjian normalisasi dengan Korsel pada 1965.
Pemerintahan Jepang di bawah perdana menteri baru Yoshihiko Noda menjadi pusat perhatian China dan Korea Selatan (Korsel). Sementara China memilih mencermati dengan hati-hati, Korsel sudah berkomentar.”Jepang mesti tetap mengingat sejarah perang. Kini Jepang pun harus membayar konpensasi untuk perempuan-perempuan Korsel yang dijadikan budak seks dalam perang masa lalu oleh Jepang,” kata Kementerian Luar Negeri Korsel.
Namun begitu, Korsel, sebagaimana warta Xinhua pada Jumat (2/9/2011), mengucapkan selamat atas kabinet baru Jepang. “Semoga Jepang tetap belajar pada sejarah. Dengan begitu, hubungan kedua negara makin erat dan mengemuka,” pesan kementerian tersebut.
Luka sejarah soal budak seks memang masih lekat di pelupuk mata Korsel. Negeri Ginseng itu meminta Jepang mengakui kesalahannya terkait tingkah laku Jepang saat menjadi penguasa dalam perang sejak 1910-1945. Catatan pemerintah Korsel menunjukkan, hingga 1990, masih ada 234 perempuan korban perilaku penjajah Jepang.
Sejatinya, jumlah itu merupakan bagian dari 200.000 perempuan yang dijadikan budak seks oleh tentara Jepang di masa imperialismenya di kawasan Asia. Termasuk di sini adalah China dan Indonesia.