Vietman Suka Memindahkan Patok Perbatasan Negaranya Dengan Kamboja


Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Ungkapan itu terasa pas mewakili fenomena bagaimana sejumlah negara menyikapi persoalan perbatasan dengan negara tetangga. Jika isu perbatasan di sejumlah negara bisa menjadi masalah besar, hal serupa tampak tak terjadi di negeri monarki konstitusional demokratik Kamboja.

Isu perbatasan di Kamboja, negeri yang berbatasan darat langsung dengan tiga negara seperti Thailand, Laos, dan Vietnam, malah berhenti dan menjadi sekadar komoditas politik dalam negeri, baik oleh pemerintah maupun pihak oposisi.

Vonis pengadilan Kamboja malah menghukum tokoh pemimpin partai oposisi, Sam Rainsy, secara in absentia, dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda belasan ribu dollar AS karena dianggap menyebarkan kebohongan tentang isu perbatasan Kamboja-Vietnam.

Rainsy saat ini tengah menjalani pengasingan di Paris, Perancis. Sebelumnya dia mempertanyakan proses pengukuran dan penetapan titik perbatasan di antara kedua negara, yang diduga merugikan Kamboja.

Pada Januari lalu Rainsy juga dijatuhi hukuman dua tahun penjara menyusul protes politiknya terkait isu serupa. Saat itu dia melontarkan tuduhan tentang sejumlah penanda batas wilayah, sepanjang perbatasan Kamboja-Vietnam, yang dicabut.

Rainsy mengklaim pihak Vietnam sengaja mengganggu dan melanggar wilayah Kamboja. Isu perbatasan di Kamboja memang sangat peka dan kerap menarik perhatian serta dukungan masyarakat Kamboja.

Sejumlah kalangan meyakini pemerintahan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen lebih memilih tidak bermasalah dengan negara tetangganya. Hal itu menjelaskan pilihan mereka untuk justru menekan pihak oposisi dalam isu tersebut. Seperti dipahami, pemerintahan Hun Sen lebih bersimpati kepada Hanoi.

Para pendukung partai oposisi memang memiliki rasa sentimen dan tidak percaya kepada negara tetangganya itu.

Hun Sen balik didugat

Rainsy menuduh putusan pengadilan dipengaruhi tekanan Vietnam. Sikap Pemerintah Kamboja yang otoriter menggunakan instrumen apa pun untuk menekan dan membungkam para lawan politik.

Perdana Menteri Hun Sen menilai perilaku Rainsy sebagai tindakan yang sangat berpengaruh buruk terhadap kehormatan pemerintah. Hun Sen sendiri awal tahun ini menilai apa yang dilakukan Rainsy sebagai bentuk pengkhianatan.

Hun Sen menyatakan ketika itu, Pemerintah Kamboja hingga sekarang masih harus menghadapi kerepotan dalam menghadapi masalah atau sengketa perbatasan yang selalu berubah-ubah dengan Thailand, terutama di kawasan utara dan barat Kamboja. Dengan begitu, sengketa lain dengan Vietnam diyakini pemerintah hanya akan menambah repot dan konfrontasi baru dengan negara lain.

Perkembangan lebih lanjut sekarang, Rainsy tengah berupaya mengajukan tuntutan hukum terhadap Perdana Menteri Hun Sen. Menurut Rainsy, Hun Sen bertanggung jawab atas peristiwa serangan berdarah kepada para pengunjuk rasa demonstrasi politik tahun 1997, sekaligus menutup-nutupi upaya pengungkapannya.

Dalam pernyataannya melalui rekaman video dari Perancis, Rainsy menuduh Hun Sen sebagai ”kriminal” akibat keterlibatannya dalam serangan granat pada aksi unjuk rasa kelompok oposisi di Phnom Penh 13 tahun lalu.

Mengamati perkembangan isu tersebut, bisa dibilang memang tidak salah bunyi pepatah yang disebut pada awal tulisan. Kalau di Indonesia, isu sengketa perbatasan, terutama dengan negara tetangga Malaysia, bisa bikin gerah dan panas kuping pemerintah jika tidak segera ditanggapi.

Leave a comment