Pemerintah Indonesia Memberikan Restu Pada Bajak Laut Somalia Dengan Membayar Tebusan


Aksi perompakan di perairan lepas pantai Somalia menjadi momok bagi industri perkapalan di dunia. ”Saat ini problema besar bagi industri perkapalan adalah perompakan,” ujar SS Teo, Presiden Asosiasi Perkapalan Singapura.

Teo, sebagaimana dikutip harian the Business Times, mengakui aksi para perompak Somalia ini sudah menggila. Aksi mereka praktis sudah menjangkau perairan Samudra Hindia, bahkan sampai mendekati ujung selatan jazirah India.

Aksi ini yang membuat jumlah korban yang diserang dan dirompak belakangan ini semakin banyak. Tahun 2010 saja tercatat 53 kapal dirompak dengan lebih dari 392 kapal lainnya sempat diserang. Mereka berhasil menyandera 1.181 pelaut dari berbagai negara.

Menurut Biro Maritim Internasional, jumlah pelaut yang disandera ini merupakan yang terbesar yang terjadi di laut. Tahun lalu para perompak membunuh delapan pelaut. Semuanya berlangsung di lepas pantai Somalia, negara yang praktis dalam dua dekade ini tanpa sebuah pemerintahan yang efektif.

Menurut Teo yang juga Direktur Pelaksana Pacific International Lines—sebuah perusahaan perkapalan terkemuka di Singapura—para perompak Somalia ini kian nekat dan brutal. Mereka bersenjata mesin dan dilengkapi peralatan canggih untuk bisa mendeteksi setiap kapal yang berada bukan saja di Teluk Aden, bahkan sebagian besar Samudra Hindia, termasuk di lepas pantai India.

Kian memprihatinkan bagi perusahaan perkapalan, ujar Teo, aksi perompakan itu sudah seperti lahan pekerjaan. Empat tahun lalu perompak Somalia ini hanya merompak kapal dagang. Kapal disekap beberapa bulan dan dilepas begitu mendapat uang tebusan bahkan hanya beberapa ribu dollar AS.

Namun, kini para perompak menjelajah ke seluruh kawasan Samudra Hindia dan merompak kapal apa pun jenisnya. ”Tanpa terkecuali, mereka juga menyandera kapal kecil atau kapal layar yang hanya membawa beberapa sanak keluarga,” ujar Teo.

Menjadi mahal

Teo mengaku dibuat stres akibat aksi perompakan. Pada Oktober 2009, salah satu kapal Pacific International Lines, Kota Wajar, dirompak di lepas pantai Somalia dan disekap selama 75 hari. ”Itu masa yang paling meletihkan,” ujarnya. Keprihatinan utama adalah nasib awak kapal.

Kalau aksi pembajakan pesawat terbang, perkembangan bisa diikuti karena mendapat liputan media massa, termasuk media televisi selama 24 jam. Anggota keluarga dari sekitar 20 awak kapal Kota Wajar terus gelisah dan waswas karena tidak bisa mengetahui kondisi keluarga mereka.

Menurut Teo, karena tidak dipantau media massa, ada kesan pemilik kapal tidak memerhatikan nasib awak kapal. Kondisi ini membuat anak muda juga enggan menjadi awak kapal dagang. Begitu juga para pengguna jasa perkapalan. ”Padahal, nasib awak kapal menjadi perhatian utama,” ujar Teo.

Aksi perompakan yang kian brutal sehingga meminta korban jiwa dan jangkauan perompak yang semakin luas membuat Dewan Keamanan PBB dan Organisasi Maritim Internasional menyerukan aksi melawan para perompak.

Namun, kalangan industri perkapalan menghendaki dibentuk semacam pengadilan internasional atas perompak yang tertangkap. ”Tak ada yang bisa dilakukan terhadap perompak yang ditangkap. Mereka seharusnya dipenjarakan apabila terbukti bersalah di pengadilan tersebut,” ujar Teo.

Maraknya aksi perompakan di lepas pantai Somalia, bahkan di sebagian besar wilayah perairan di sisi barat Samudra Hindia, membuat perusahaan perkapalan enggan melayani jasa melintasi perairan itu. Menurut Teo, jika ada permintaan membawa barang ke wilayah itu, pemilik kapal akan meminta biaya angkut yang mahal.

Biaya mahal ini untuk menutupi premi asuransi yang juga mahal dan untuk membayar jasa pengawalan bersenjata di atas kapal ataupun pengawalan kapal perang. Ongkos jasa pengawalan bersenjata ini bisa mencapai 300.000 dollar AS atau sekitar Rp 2,8 miliar. Biaya ini jelas semakin menambah biaya angkut dan akhirnya dibebankan kepada konsumen akhir.

Aksi perompakan yang kian marak ini kini juga dialami kapal MV Sinar Kudus berbendera Indonesia. Sudah hampir sebulan perompak Somalia menyekap kapal dengan 20 awak kapal ini. Membayar tebusan hingga Rp 27 miliar bagi pembebasan kapal dan muatannya merupakan upaya terbaik demi keamanan semua pihak.

Hanya saja, memberikan tebusan semakin membuat perompak mendapat ”restu” untuk terus merompak sebagai sumber hidup mereka. Sebab, dalam empat tahun ini, sebagaimana disinyalir Teo, aksi mereka kian meningkat dan jangkauannya kian menjauh dari lepas pantai Somalia.

”Mereka kini sudah sampai ke selatan India. Boleh jadi mereka akan melintasi wilayah perairan Sri Lanka dan suatu ketika bisa sampai ke Selat Malaka,” ujar Teo.

Jadi, perlu langkah tegas, entah dari PBB atau siapa saja yang terganggu dengan aksi perompak ini. Aksi tegas ini diharapkan bisa membuat para perompak kapok!

Leave a comment