Antara Singapura dan Indonesia dan Pertanian


Kalimat itu terpampang di lobi Gedung DuPont Agriculture and Nutrition Platform di Johnston, Des Moines, Iowa, Amerika Serikat. Di sanalah inovasi bidang pertanian dan produk pangan perusahaan multinasional DuPont ditekuni dan menghasilkan. Salah satu produknya di Indonesia adalah benih jagung hibrida, Pioneer.

Pioneer banyak ditanam petani jagung, khususnya di bagian Provinsi Jawa Timur. Sekadar menyebut, di antaranya di Kabupaten Ngawi, Nganjuk, Madiun, dan Kediri.

DuPont, perusahaan rintisan keluarga imigran Perancis sejak tahun 1803 itu, terus berupaya mengukuhkan dirinya sebagai perusahaan berbasis riset dan inovasi. Mereka memiliki 28.000 peneliti dan staf di puluhan laboratorium di puluhan negara. Sebanyak 2.000 di antaranya (500 di antaranya bergelar PhD) bekerja di DuPont Experimental Station di Wilmington, Delaware. Di sanalah serat superkuat Kevlar dikembangkan.

Perjalanan kultur riset DuPont sangat panjang. DuPont Experimental Station berdiri tahun 1903, yang termasuk salah satu laboratorium penelitian industrial paling awal di Amerika. Di sana, hingga saat ini dikembangkan penelitian berbasis ilmu fisika dan kimia, termasuk biomaterial. Tahun 2008, dibangun DuPont Innovation Center: tempat penelitian, pengembangan, dan penerapan berbagai produk biosains dengan hasil produk-produk yang diklaim ramah lingkungan.

Memantapkan jejak sebagai perusahaan berbasis penelitian, DuPont menganggarkan dana 1,4 miliar dollar AS (hampir Rp 12 triliun) untuk pengembangan riset pada tahun 2009. Tahun 2010, sejumlah fasilitas penelitian dibangun di sejumlah negara, salah satunya laboratorium photovoltaic (PV) di Swiss.

Sebagai gambaran fokus riset mereka, tahun 2009 DuPont meluncurkan 1.400 produk dan mencatatkan 2.086 paten. Adapun 39 persen (sekitar 10 miliar dollar AS) dari total pendapatan berasal dari penjualan produk yang mereka luncurkan tahun 2005-2009.

”Sebanyak 75 persen dana penelitian dan pengembangan tahun 2009 kami gunakan menjawab tantangan megatren,” kata Ketua sekaligus CEO DuPont Ellen Kulman pada DuPont Global Media Briefing di Iowa, September lalu. Pernyataan itu sekaligus menegaskan arah DuPont sebagai perusahaan berbasis riset.

Megatren yang dimaksud mengarah pada kebutuhan pangan dunia yang tumbuh minimal dua kali lipat pada tahun 2050 mendatang. Tahun itu, jumlah penduduk dunia diperkirakan 9 miliar. Untuk itu, DuPont terus mengembangkan benih jagung dan kedelai hibrida, yang ditargetkan mendominasi pasar global. Mereka juga sedang mengembangkan benih padi hibrida di Filipina.

Teknologi berikutnya yang dikembangkan adalah menjawab tantangan mengurangi ketergantungan dunia pada energi berbahan fosil. DuPont saat ini, di antaranya mengembangkan teknologi sel surya, biofuel, hingga material konstruksi berbahan khusus.

Mereka juga terus menyempurnakan serat kain kuat Kevlar dan Nomex, yang melindungi individu dari tindak kriminalitas yang akan meningkat seiring tekanan sosial dan ekonomi yang tinggi. Mereka juga mengembangkan Tyvek, material khusus yang di antaranya diaplikasikan untuk jaket pelindung dari bahan-bahan kimia berbahaya.

Menurut Kulman, yang Oktober ini dinobatkan Fortune pada urutan ke-7 perempuan paling berpengaruh di dunia bisnis, riset-riset yang mereka kembangkan disesuaikan kebutuhan penduduk dunia. Dengan kata lain, mendengarkan keinginan pasar, dikembangkan di laboratorium, lalu dikembalikan ke pasar. ”Itu yang kami sebut market driven R and D,” kata dia. Sekadar menyebut contoh, hadirlah material khusus yang disebut Nomex on demand, sebuah serat pintar yang bisa mengerut atau mengembang menyesuaikan kondisi suhu. Serat ini bisa diaplikasikan seperti kaus atau semacam kaus kaki (stocking). Ada pula Kevlar PX, serat superkuat jenis baru yang dapat melindungi tubuh dari trauma terjangan peluru, hanya dengan rompi lima lapis kain dengan berat kurang dari 5 kilogram.

Ekonomi riset

DuPont paham betul bahwa riset berkelas sangat mahal, tetapi menguntungkan.

Dari segi pemasaran, pendapatan global mereka tahun 2009 sebesar 26,1 miliar dollar AS, yang banyak disumbang dari sektor pertanian dan nutrisi (8,3 miliar dollar AS) dan kimia (5 miliar dollar AS).

Pemasukan itu diproyeksikan meningkat hingga dua digit seiring pulihnya perekonomian dunia dari krisis global. ”Kondisi keuangan perusahaan kami saat ini sangat baik,” kata Executive Vice President and Chief Financial Officer Nick Fanandakis.

Nick menegaskan, penelitian dan pengembangan yang menjadi napas perusahaan diarahkan pada sektor-sektor yang menjanjikan kembali modal. Namun, tetap ada persentase penelitian jangka panjang.

Dengan kata lain, riset dan hasil riset berupa keuntungan bisnis akan terus mengalir dari waktu ke waktu. Di bidang riset pangan, DuPont sedang mengembangkan benih jagung tahan kekeringan ekstrem. Setidaknya, ada dua jenis benih yang dikembangkan, yang salah satunya akan diluncurkan tahun 2011 untuk pasar Amerika Serikat saja.

Di tengah perkembangan dunia yang sudah diprediksikan, DuPont memosisikan diri. Sejumlah negara, seperti Singapura, juga mengantisipasinya dengan menganggarkan 16 miliar dollar AS bagi pendanaan riset dan inovasi untuk lima tahun mendatang.

Langkah itu merefleksikan cara pandang Singapura terhadap pentingnya riset dan pengembangan teknologi bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Sementara Indonesia, dengan sumber daya peneliti dan sumber daya alam yang melimpah ruah, masih saja terus-menerus terjebak pada persoalan jangka pendek, seperti persoalan politik yang jauh dari mencerdaskan, apalagi menyejahterakan.

 

Leave a comment