Mimpi Diplomasi Indonesia Yaitu Menjadi Pengatur Wilayah Asia Tenggara


Hanya dalam hitungan hari, Konferensi Tingkat Tinggi Ke-17 Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara akan digelar di Hanoi, Vietnam, 28-30 Oktober 2010. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dipastikan hadir. Indonesia ”wajib” hadir, terutama mengingat tahun 2011 akan mendapat giliran mengetuai ASEAN.

Namun begitu, ada banyak kritik dan pertanyaan muncul, terutama dikaitkan dengan kemampuan, efektivitas, serta ”pamor” diplomasi Indonesia yang dalam beberapa kesempatan dinilai tidak lagi setangguh dan sekokoh pada masa lalu.

Pada masa lalu, baik masa kepemimpinan Presiden Soekarno maupun Soeharto, ”kehebatan” serta ”kepiawaian” Indonesia dalam berdiplomasi terbilang amat disegani. Pascareformasi, yang diawali terpuruknya Indonesia dalam krisis multidimensi berkepanjangan, ”pamor” tersebut semakin surut.

Bagaimana Kementerian Luar Negeri menyikapi itu? Berikut petikan wawancara Kompas dengan Menlu Marty Natalegawa, Jumat lalu di Kementerian Luar Negeri di Pejambon, Jakarta.

+ Juru Bicara Pemerintah Thailand Panitan Wattanayagorn pernah memuji Indonesia sebagai satu-satunya negara yang pas memimpin ASEAN. Namun, pascareformasi, peran Indonesia dinilai semakin melemah. Apa benar demikian?

Jawab: Sebagai negara terbesar di kawasan (Asia Tenggara), posisi Indonesia masih menjadi penentu. Namun, berbeda dengan negara berkondisi sama di kawasan lain yang besar, tetapi tidak disukai karena terlalu sering memaksakan kehendaknya, Indonesia justru berperan penting lantaran dia bertindak sebagai faktor pemersatu sekaligus penyeimbang, termasuk di kawasan Asia Tenggara sendiri.

Posisi dan sikap Indonesia seperti itu sangatlah langka, apalagi mengingat biasanya sebuah negara besar kerap memaksakan kehendaknya dengan menggunakan pengaruh kebesaran fisiknya. Amat jarang sebuah negara besar berpengaruh lantaran kekuatan dan kemampuan diplomasinya.

Kalau mau gampangnya saja, kita juga bisa memaksakan kehendak. Namun, dengan menahan diri, Indonesia justru mampu menunjukkan kualitasnya dan malah bisa memayungi semua.

Dalam konteks ASEAN saja kita ini sudah jadi faktor perekat. Dalam konteks lebih luas lagi, Indonesia ingin berperan sebagai penentu keseimbangan yang dinamis (dynamic equilibrium) sebagai suatu konsep yang sekarang coba kami kembangkan.

Sebagai penentu keseimbangan dinamis, Indonesia bisa bergerak dari satu pijakan ke pijakan lain tanpa perlu khawatir. Selain itu, di kawasan tidak ada yang namanya satu negara dominan, melainkan ditandai dengan keinklusifan negara-negara yang ada. Mereka saling berinteraksi demi keuntungan dan kepentingan bersama serta saling menghormati.

Indonesia dengan semua negara bersahabat. Baik dengan China, Jepang, Korea, Amerika Serikat, India, maupun negara besar lain. Istilahnya, million friends, zero enemy. Dengan kemampuan diplomasi kita, Indonesia bisa dengan lincah bergerak dari satu titik berpijak satu ke yang lain. Malah menciptakan keseimbangan di kawasan.

+ Jadi Indonesia tetap punya ”pamor” memimpin, termasuk di kawasan (Asia Tenggara)?

– Ya, justru ibaratnya Indonesia seperti seorang dirigen sebuah orkestra di mana ”alat musik” dan ”suara” dari tiap-tiap negara dalam konteks global bisa saja beragam. Namun, Indonesia-lah yang berperan menyeimbangkannya, seperti dirigen, sehingga musiknya yang terdengar bisa enak dan indah.

Anda bisa lihat dalam proses pembahasan arsitektur kawasan ASEAN setahun belakangan ini. Negara-negara ASEAN sempat gamang dan bahkan vakum sekitar Oktober-November 2009 ketika Australia muncul dengan konsep Komunitas Asia-Pasifik-nya, sementara Jepang juga melontarkan konsep lain, Komunitas Asia Timur (East Asia Community).

Saat itu kita cuma bisa bilang, pokoknya segala sesuatu harus didorong melalui ASEAN tanpa bisa berbuat apa-apa. Padahal, yang namanya kebijakan itu tidak cukup sekadar menyatakan tidak mau, tetapi juga harus sekaligus menyebutkan apa yang kita inginkan.

Indonesia dengan bacaan geopolitik yang kita punya kemudian muncul dengan konsep Keseimbangan Dinamis (Dynamic Equilibrium) tadi. Sementara Singapura malah melontarkan keinginan membentuk ASEAN Plus Eight.

Kenapa mau ditambah lagi jadi delapan, sementara ASEAN Plus Plus (Plus One dan Plus Three) saja sudah sulit. Mengapa mau menyatukan delapan negara yang tercerai-berai semacam Rusia, AS, China, Jepang, Korea, Selandia Baru, Australia, dan India dengan ASEAN? Terbukti usulan konsep Indonesia yang diterima kemudian.

+ Jadi, Indonesia masih dipercaya?

– Ya. Ada beberapa negara yang bahkan meminta Indonesia secara khusus untuk menjadi penengah konflik di antara mereka. Namun, permintaannya, jangan sampai terekspos karena akan mengganggu martabat mereka. Indonesia menerima permintaan itu dan melakukan diplomasi sunyi (quiet diplomacy) antarkedua pihak yang bersengketa itu.

Sejak awal dahulu saya sudah katakan, Indonesia hanya tertarik untuk mencapai hasil atau capaian-capaian konkret, termasuk dalam konteks diplomasi.

Leave a comment