Arogansi Politik Pencari Suaka


Sebagai negara dalam wilayah Asia, Australia sering kali tidak tahu diri dalam menempatkan persoalan-persoalan internasional yang melulu hanya mementingkan diri sendiri atas nama hak asasi manusia dan politik dalam negeri. Perilaku ini yang tecermin ketika PM Australia yang baru Julia Gillard berkuasa dan merencanakan untuk membuat pusat pemrosesan regional menangani pengungsi di Timor Leste.

Gagasan yang sering disebut sebagai ”Pacific Solution” itu selain melibatkan Timor Leste juga menjadikan beberapa negara di Pasifik, seperti Papua Niugini, menjadi pusat yang sama. Gagasan ini mengingatkan pada politisi wanita Australia, Pauline Hanson, ketika terpilih sebagai anggota parlemen 1996, mengatakan, ”I and most Australians want our immigration policy radically reviewed and that of multiculturalism abolished. I believe we are in danger of being swamped by Asians.” (Saya dan sebagian besar orang Australia menginginkan pengkajian ulang secara radikal kebijakan imigrasi dan dihapuskannya multikulturalisme. Saya percaya kita dalam bahaya dibanjiri oleh orang-orang Asia).

Selama ini beberapa negara Asia, khususnya Indonesia, menghadapi persoalan serius pengungsi karena posisi geografis yang selalu dilalui para pengungsi yang menggunakan kapal. Manusia perahu asal Vietnam pada tahun 1980-an, misalnya, telah menimbulkan tidak hanya masalah sosial, tetapi juga persoalan keamanan-pertahanan wilayah Indonesia.

Melalui program kemanusiaan (termasuk pengungsi), antara tahun 1999-2006 Australia menerima orang asing yang melarikan diri dari negaranya dalam jumlah paling rendah sekitar 12.300 orang dan paling tinggi sekitar 15.800 orang. Asal para pengungsi ini ada dari Afganistan (termasuk lolos ke Indonesia), Sri Lanka, dan paling jauh dari Kosovo.

Bentuk arogansi

Bagi Australia, masalah pengungsi akan selalu terkait dengan persoalan politik dalam negeri, khususnya pemilu. Australia dibangun oleh para pengungsi dan memiliki sejarah panjang terkait dengan persoalan ini, menyebabkan nuansa politiknya pun harus mencerminkan substansi demokrasi liberal yang juga tecermin persoalan pengungsi ini.

Persoalan yang dihadapi adalah sebagian pengungsi yang muncul di wilayah Asia Tenggara berasal dari pertikaian politik dan perang dalam negeri karena berbagai faktor, termasuk perang antiteror berlangsung di Afganistan dan Irak yang dijalankan oleh AS, Inggris, dan sekutunya, termasuk Australia.

Melalui slogan kampanye ”move forward”, PM Australia Julia Gillard merencanakan untuk memperkuat perlindungan perbatasan dan merencanakan untuk membangun pusat pemrosesan regional guna menyaring para pengungsi.

Kita menganggap ini tidak menyelesaikan masalah pengungsi, khususnya para pencari suaka, karena pusat ini akan menjadi beban regional ketika para pengungsi berbondong-bondong berdatangan dan berlindung di balik pasal refouler (dikembalikan) dalam Konvensi Terkait Status Pengungsi tahun 1951.

Melindungi wilayah perbatasan sendiri dan melimpahkan pokok persoalan penyaringan para pencari suaka di negara lain adalah bentuk arogansi politik luar negeri yang tidak mencerminkan semangat membangun kerja sama regional. Pusat penyaringan pencari suaka seperti gagasan ”Pacific Solution” akan menimbulkan lebih banyak persoalan, termasuk terhadap negara yang menjadi pusat tersebut.

Kita condong menganggap persoalan pengungsi dan pencari suaka diselesaikan secara kerja sama multilateral karena berbagai hal ketimbang menjadi konsumsi kampanye politik dalam negeri. Hal ini termasuk menyelesaikan persoalan di akar pengungsi berasal, termasuk penyelesaian perang di Afganistan dan Irak yang diciptakan AS bersama sekutunya, termasuk Australia.

Leave a comment