Kebangkitan Nasionalisme Jerman Karena Gagalnya Multikulturalisme


Ketika seorang pemimpin dunia mengatakan terang-terangan bahwa multikulturalisme telah gagal di negerinya, pasti ada sesuatu yang luar biasa sedang terjadi. Apalagi, saat pemimpin itu adalah pemimpin Jerman, negeri yang menyimpan trauma dan segunung rasa bersalah akibat politik ”pemurnian ras” Nazi Jerman yang memicu Perang Dunia II.

Yang kemudian menarik dari analisis George Friedman, pendiri dan CEO Stratfor Global Intelligence, adalah apa yang membuat pemimpin Jerman justru mengeluarkan pernyataan paling lugas dan agresif, tanpa tedeng aling-aling, tentang gagalnya multikulturalisme ”abal-abal” di Eropa itu, dibandingkan dengan pemimpin Eropa lainnya.

Menurut Friedman, sanggahan terhadap multikulturalisme dengan sendirinya berarti pengakuan terhadap pentingnya identitas nasional Jerman. Jerman dalam proses kembali ke dalam sejarah dunia. Selama 65 tahun masa ”tiarap”-nya, Jerman cenderung meleburkan diri dalam kelompok-kelompok multinasional, seperti UE dan NATO, demi menghindari topik yang sederhana, tetapi sangat dalam, yakni nasionalisme. Pernyataan Merkel oleh Friedman dibaca sebagai tanda bahwa masa-masa ”diam” Jerman telah usai.

Friedman memandang, kebangkitan kembali kesadaran nasional Jerman tersebut lebih dipicu oleh masalah yang lebih konkret, seperti masalah-masalah sosial yang disebabkan imigran tadi, dan mulai munculnya keraguan Jerman terhadap masa depan organisasi multinasional yang ia ikuti.

NATO, persekutuan militer yang sebagian besar anggotanya adalah negara-negara yang tidak memiliki kekuatan militer berarti, mulai dirasakan sebagai beban karena Jerman termasuk negara yang harus ikut bertanggung jawab terhadap keamanan negara-negara tersebut.

Krisis ekonomi yang melanda UE, terutama kasus hampir bangkrutnya Yunani beberapa bulan lalu, yang harus ditanggung negara-negara anggota UE lainnnya, membuat Jerman juga meragukan masa depan konsep Eropa bersatu ini. Jerman, sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama di Eropa, tak mau terpaksa menjadi penjamin utama finansial UE jika terjadi masalah lagi pada masa depan.

Jerman pun mulai memikirkan masa depannya sendiri dengan mulai berpikir di luar konteks UE. Salah satu skenario yang diajukan Friedman adalah jalinan kerja sama Jerman dengan Rusia. Rusia bisa menjadi jawaban atas kebutuhan 400.000 tenaga terampil yang sangat dibutuhkan Jerman untuk menggerakkan ekonominya.

Jerman saat ini sudah bergantung pada Rusia dalam hal pasokan energi. Jika Jerman kemudian juga bergantung pada Rusia dalam hal tenaga kerja dan Rusia bergantung pada Jerman dalam hal investasi, peta Eropa bisa berubah lagi.

Oleh sebab itu, pernyataan Merkel memiliki dua sisi yang sama-sama memiliki makna penting. Di satu sisi dia mengingatkan ancaman serius multikulturalisme ”abal-abal” dan menekankan pentingnya proses integrasi imigran ke dalam masyarakat Jerman. Di sisi lain, melalui peringatan itu, Merkel juga memulai sebuah proses yang bisa berdampak besar, tak hanya bagi Jerman sendiri ataupun Eropa, tetapi juga pada keseimbangan kekuatan global. Sejarah yang akan membuktikan.

Sabtu pekan lalu Kanselir Jerman Angela Merkel membuat pernyataan yang mengejutkan. Merkel menegaskan, usaha membangun multikulturalisme di negara tersebut telah gagal total. DAHONO FITRIANTO

Dalam pertemuan dengan para kader muda partai Uni Demokrat Kristen (CDU) di Potsdam itu, Merkel juga mengatakan, para pendatang, yang sebagian besar berasal dari Turki atau negara-negara Arab dan beragama Islam, harus memulai proses integrasi dengan masyarakat asli Jerman, menguasai bahasa Jerman, dan menjunjung tinggi budaya masyarakat setempat.

Horst Seehofer, Perdana Menteri Negara Bagian Bavaria dan ketua partai rekan koalisi Merkel di pemerintahan Jerman saat ini, menegaskan bahwa kedua partai, CDU dan Uni Sosial Kristen (CSU), ”berkomitmen mewujudkan kultur Jerman yang dominan dan menentang (bentuk) multikultural”.

David Frum, mantan asisten khusus Presiden George W Bush pada 2001-2002, menulis di CNN.com bahwa masalah yang dihadapi Jerman terkait imigran adalah masalah yang dihadapi hampir semua negara maju di Eropa.

Pendiri dan CEO Stratfor Global Intelligence (www.stratfor.com) George Friedman menjelaskan, ada perbedaan mendasar mengenai konsep bangsa yang dianut di Eropa dengan, taruhlah, Amerika Serikat yang pada gilirannya berpengaruh terhadap konsep multikulturalisme masing-masing. AS sejak awal berdirinya sadar diri sebagai bangsa para imigran.

Siapa saja bisa menjadi orang (berbangsa) Amerika selama mereka bersedia menerima bahasa dan budaya dominan bangsa tersebut, yang disepakati bersama sebagai budaya inti. Dengan cara demikian, masih tersedia banyak ruang bagi setiap imigran untuk mempraktikkan keunikan budaya asal masing-masing, tetapi mereka juga berbagi satu nilai inti yang sama.

Di AS, kewarganegaraan kemudian menjadi konsep legal, yang membutuhkan proses jelas, janji setia, dan nilai-nilai bersama. Kebangsaan bisa diusahakan, ada ”harga” pasti yang harus ”dibayar”.

Hal berbeda berlaku di Eropa. Untuk menjadi orang (bangsa) Perancis, Polandia, atau Yunani, seseorang tidak cukup hanya dengan mempelajari bahasa atau nilai-nilai budaya setempat, tetapi dia harus menjadi orang Perancis, Polandia, atau Yunani tulen secara keturunan. ”Mereka harus berbagi sejarah penderitaan dan kejayaan yang sama. Hal ini tidak bisa diusahakan,” tulis Friedman.

Dari sudut pandang ini, multikulturalisme di Eropa dapat dikatakan sekadar basa-basi, sekadar sebuah tindakan untuk menghadapi realitas membanjirnya imigran ke negara mereka.

Maka, dengan konsep seperti itu, multikulturalisme ala Eropa justru menciptakan alienasi permanen bagi para imigran. Dengan dibebaskan mempertahankan identitas asli, para imigran di Jerman tak merasa perlu peduli terhadap nasib Jerman.

Sistem negara kesejahteraan (welfare state) yang diterapkan hampir di seluruh Uni Eropa (UE), di mana para pengangguran dan fakir miskin benar-benar bisa hidup atas tanggungan jaminan sosial dari negara, disebut Frum sebagai daya tarik utama banjirnya imigran ke Eropa.

Melimpahnya imigran, yang rata-rata berpendidikan rendah dan tidak berketerampilan, memicu berbagai masalah sosial, seperti pengangguran, kecemburuan sosial, dan kriminalitas. Namun, di sisi lain, Jerman dan negara-negara utama EU lainnya membutuhkan para imigran ini untuk menggerakkan ekonomi mereka. Kamar Dagang dan Industri Jerman menyatakan, saat ini Jerman masih membutuhkan sedikitnya 400.000 tenaga kerja terampil.

Islamofobia

Berbagai masalah sosial yang dipicu para imigran tersebut kemudian menumbuhkan perasaan islamofobia, serba curiga, dan berpikir negatif terhadap Islam secara keseluruhan, hanya karena kebetulan para imigran di Eropa sebagian besar berasal dari latar belakang dunia Islam.

Dalam sebuah artikel di laman lembaga think tank Foreign Policy in Focus, 9 April 2010, Jeane Kay menyebut perang terhadap terorisme yang dilancarkan AS dan obsesi antiterorisme masyarakat global turut menyumbang rasa anti-Islam di kalangan masyarakat Eropa. Beberapa kota di Eropa turut menjadi sasaran serangan teror, seperti Madrid (2004) dan London (2005), dan baru-baru ini terbongkar plot serangan teror Al Qaeda ke beberapa kota utama di Eropa.

Belakangan, sentimen islamofobia itu dipolitisasi oleh golongan ultrakanan di Eropa dan memicu semacam kebangkitan kembali paham ultrakanan hampir di seluruh Eropa. Makin menguatnya dukungan terhadap Partai Kemerdekaan yang dipimpin Geert Wilders di Belanda, kenaikan jumlah pemilih Front Nasional pimpinan Jean-Marie Le Pen di Prancis, dan kemenangan Liga Utara di dua provinsi di Italia utara adalah beberapa tanda kebangkitan partai-partai beraliran ultrakanan di Eropa.

Di Swedia dan Austria, partai ultrakanan juga mendapat suara yang signifikan dalam pemilu nasional ataupun regional dalam kurun waktu dua bulan terakhir ini.

Menurut Frum, masalah imigran di Eropa bisa diselesaikan apabila negara-negara UE mengadopsi kebijakan Amerika Serikat, yakni penegakan hukum yang lebih keras, sistem jaminan sosial yang tak terlalu murah hati, dan pembangunan identitas nasional yang lebih kuat.

Sementara itu, Kay berpendapat, masalah utamanya adalah kegagalan model integrasi tradisional yang diterapkan negara-negara Eropa.

”Sama seperti kegagalan mereka menawarkan alternatif terhadap hegemoni neoliberalisme dalam kebijakan ekonomi, para penganut sosial demokrat (aliran politik yang diterapkan rata-rata negara kesejahteraan di Eropa) tetap tak bisa merumuskan model integrasi alternatif yang konkret, berdasarkan multikulturalisme sejati,” tulis Kay.

Friedman mengatakan, dalam kasus Jerman, negara itu memang tak pernah benar-benar memikirkan integrasi para imigran. Sejak Jerman mengundang para imigran untuk mengisi kekurangan tenaga kerja pada tahun 1950-an, orang Jerman tak pernah berpikir mereka akan tetap tinggal di negara itu.

Dalam pidatonya, Kanselir Merkel sempat menyinggung itu. ”Kita dulu sempat bercanda bahwa mereka tak akan selamanya tinggal di sini. Ternyata kita salah,” ujar Merkel waktu itu.

Saat para imigran itu ternyata tetap tinggal hingga turun-temurun, solusi yang ditawarkan Pemerintah Jerman pada pertengahan tahun 1980-an adalah konsep multikulti atau multikulturalisme. Para imigran boleh mempertahankan cara hidup sesuai kultur asli mereka (termasuk bahasa dan pola hidup beragama), tetapi harus menyatakan kesetiaan kepada negara Jerman. Dua budaya yang berbeda diharapkan bisa hidup berdampingan secara damai dengan sendirinya.

Meski sekilas terlihat seperti konsep liberal, manusiawi, dan menghargai kebhinekaan, kebijakan ini sebenarnya, kata Friedman, adalah sebuah transaksi untuk ”membeli” kesetiaan para imigran, tidak kepada negara asal mereka lagi, tetapi kepada Jerman, negara baru mereka. ”Orang Jerman sebenarnya tidak ingin dan tidak tahu bagaimana caranya berasimilasi dengan orang yang berbeda budaya, bahasa, agama, dan moral,” tutur Friedman dalam artikel yang ditulis pada 19 Oktober.

Leave a comment