Monthly Archives: June 2008

Obama Bawa Perubahan Di Amerika – Di Indonesia Golput Yang Sudah Mencapai 40 Persen

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung di sejumlah daerah menunjukkan cenderung meningkatnya jumlah mereka yang tidak menggunakan hak memilih (golput). Dua pilkada terakhir di Sumatera Utara dan Jawa Tengah, tingkat partisipasi masyarakat kurang dari 60 persen. Mengapa demikian dan sejauh mana fenomena golput mewarnai Pemilu 2009 mendatang?

Secara umum, ketidakhadiran sebagian masyarakat dalam memberikan suaranya dalam pemilu dan pilkada dapat dikategorikan atas dua kelompok.

Pertama, karena faktor teknis seperti tidak terdaftar sebagai pemilih, tidak memperoleh kartu pemilih, dan alasan-alasan lain yang bersumber pada kekacauan manajemen pemilihan.

Kedua, karena faktor politik seperti kekecewaan terhadap partai, kandidat yang diajukan partai, dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan pemilu dan pilkada mengubah kehidupan masyarakat. Hanya, data mereka yang tidak memilih sering tidak tersedia karena alasan politik.

Golput karena faktor teknis sebenarnya tak perlu dikhawatirkan karena hal itu bisa berkurang jika kualitas manajemen pemilu dan pilkada dibenahi oleh komisi penyelenggara pemilihan. Penyebutan golput pun tidak tepat karena istilah yang berasal dari frasa ”golongan putih” itu ditujukan bagi mereka yang tidak menggunakan hak pilih karena kecewa dengan sistem politik yang berlaku. Karena itu, yang tampaknya perlu menjadi perhatian adalah fenomena tidak menggunakan hak pilih akibat kekecewaan terhadap semua faktor yang terkait pemilu dan pilkada.

Ekspresi kekecewaan

Penilaian yang bersifat positif memandang, golput politik yang cenderung meningkat mencerminkan kian meluasnya kesadaran masyarakat akan sistem politik yang lebih demokratis, adil, dan berpihak kepada kepentingan umum. Sistem pemilu atau pilkada, mekanisme pencalonan kandidat, dan format penyelenggaraannya dipandang belum merepresentasikan partisipasi dan kepentingan publik. Pemilu dan pilkada lebih dilihat sebagai arena elite politik yang memiliki uang untuk mendapat kekuasaan, tetapi lalu mengkhianati mandat rakyat saat sudah terpilih. Meluasnya fenomena korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang diindikasikan pengadilan terhadap para mantan wakil rakyat, bupati, wali kota, gubernur, bahkan mantan menteri mencerminkan realitas itu.

Jadi, fenomena golput politik yang cenderung meningkat adalah ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap klaim-klaim keberhasilan reformasi dan demokratisasi yang dialami bangsa kita selama sekitar 10 tahun terakhir. Secara obyektif, kualitas penyelenggaraan pemilu dan pilkada kian bebas dan demokratis. Dimulai pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat tahun 2004, diikuti pilkada langsung sejak Juni 2005. Indonesia bahkan dibanggakan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan AS.

Namun, sebenarnya klaim keberhasilan dan kebanggaan itu bersifat semu karena yang meningkat secara signifikan sejak 1999 adalah demokrasi prosedural ketimbang demokrasi substansial. Demokrasi prosedural hanya menyediakan arena bagi elite untuk merebut kekuasaan, tetapi tanpa keberpihakan dan tanggung jawab untuk menggunakan kekuasaan bagi kepentingan umum. Tak mengherankan jika klaim keberhasilan demokratisasi berjalan seiring merosotnya kepercayaan publik terhadap partai, parlemen, dan lembaga demokrasi lainnya, seperti ditunjukkan oleh berbagai hasil survei selama ini.

Golput dan Pemilu 2009

Fenomena meningkatnya golput dalam sejumlah pilkada di provinsi dan kabupaten serta kota beberapa waktu terakhir tidak mustahil akan memuncak pada pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2009. Kinerja pemerintah, parlemen, dan partai-partai yang masih buruk di tengah berbagai pidato dan jargon tentang keadilan, korupsi, dan pengentasan kemiskinan bisa menjadi faktor penting yang mendorong meluapnya ekspresi kekecewaan masyarakat dalam pemilu.

Apalagi jika pemilu mendatang tidak menawarkan format keterlibatan publik yang lebih meningkat, mekanisme pencalonan para kandidat yang lebih transparan dan demokratis serta tidak ada jaminan bagi lahirnya elite politik yang lebih bertanggung jawab. Undang-undang pemilu baru yang dihasilkan DPR bersama pemerintah juga tidak menjanjikan perubahan signifikan kendati berupaya melembagakan koherensi antara sistem kepartaian dan sistem presidensial melalui mekanisme parliamentary threshold 2,5 persen. Berbagai UU bidang politik pada akhirnya lebih merupakan ”aturan main” di antara para politisi ketimbang sebagai mekanisme untuk menerjemahkan aspirasi publik ke dalam sistem politik.

Ironisnya, partai-partai yang berkinerja buruk dan partai-partai baru yang juga belum jelas komitmennya itu ”harus” dipilih rakyat dalam pemilu legislatif mendatang. Di sisi lain, kandidat presiden yang tiap hari ditawarkan media adalah tokoh ”daur ulang” yang sebagian di antaranya terbukti gagal mengangkat harkat bangsa kita menjadi lebih baik. Kalaupun media mengiklankan kandidat presiden alternatif, yang diusung akhirnya hanya ”popularitas”, sementara rekam jejak sebagai pemimpin yang bertanggung jawab dibiarkan larut dalam sejarah.

Pertanyaannya, haruskah para pemilih digiring ke tempat-tempat pemungutan suara jika setelah pemilu ternyata mereka yang terpilih akhirnya hanya ”berpesta” di atas penderitaan rakyat?

Mungkin di sinilah letak urgensi kesadaran elite politik di partai, lembaga perwakilan, dan pemerintahan, bahwa fenomena golput adalah suara protes rakyat yang tak lagi mampu bersuara. Ia bisa mendorong lahirnya sikap pembangkangan dan tindak anarki jika elite politik serta penyelenggara negara tidak cerdas dan tak kunjung becus mengelola republik ini.

Pedagang Minyak Sekarang Tidak Butuh Sumur Minyak Cukup Kertas dan Jago Main Dibursa Komoditi

Kalau kami produksi minyak lebih banyak lagi, tidak ada yang membeli,” kata Raja Abdullah saat menutup KTT produsen-konsumen minyak. Semua pemimpin dunia pusing mencari solusi menahan laju harga. Kaya minyak, kok, tak berdaya? Di sini, selain disambut amarah rakyat, pemerintah juga disambut ”hak angket”. Sementara itu, yang tak punya minyak menari-nari dengan perdagangan dan spekulasi.

Ketidakberdayaan ini tak dapat diatasi dengan kecurigaan dan bermabuk wacana, apalagi dengan jalan pintas. Banyak hal telah berubah dan kita harus berlari lebih kencang lagi. Namun, ada yang sudah berubah, tetapi miskin pengakuan sehingga memicu frustrasi.

Menari di atas bara api

Ibarat menari di atas bara api dengan genderang ditabuh orang lain, Indonesia jelas menderita. Dulu, genderang itu ditabuh International Oil Company (IOC, perusahaan swasta, seperti Exxon Mobil, Chevron, dan Shell) yang bekerja sama dengan National Oil Company (NOC, milik negara, seperti Saudi Aramco, Petronas, Petrobras, Statoil, PDVSA Venezuela, dan Pertamina). Namun, sejak menjadi net importer, kita cuma menjadi penari, sedangkan genderangnya berpindah ke pengendali keuangan di bursa komoditas.

Kongres Amerika mengungkapkan, investasi terbesar belakangan ini berbentuk ”paper” di bidang energi. Porsinya bergeser dari 4,6 persen (2003) menjadi 30,7 persen (2005), dan sekarang di atas 50 persen (NYMEX, 2006). Menurut The New York Times, keuntungan minyak sebesar 1,5 miliar dollar AS yang dinikmati Goldman Sachs dan Morgan Stanley (2005) menimbulkan efek domino panjang.

Stok minyak (juga kekayaan) telah beralih dari NOC-IOC kepada para trader dan pelaku sektor keuangan yang tidak punya sumur, fasilitas kilang, gudang, atau kapal. Persepsi yang hidup di bursa itu berbeda dengan angka riilnya. Lord Browne, mantan CEO BP, menandaskan, ”Tidak ada indikasi kelangkaan. Naiknya harga tidak berhubungan dengan suplai-permintaan.”

Maka, harga minyak pun bergerak-gerak seperti harga saham. Secara empiris, semua ini hanya bisa ditangkal NOC dengan membentuk oil trader yang kuat.

Transformasi NOC

Karena kini minyak diperdagangkan trader dan ”spekulator”, penting mentransformasi tangan-tangan perdagangan NOC. Masalahnya, NOC selalu sarat belenggu dengan berbagai aturan dan diganggu berbagai kepentingan. Kalau belenggu-belenggu itu tidak dilepaskan, oil trader tidak bisa bergerak optimal karena pengambilan keputusannya butuh manuver cepat, perencanaan matang, jaringan luas, dan manajemen keuangan yang canggih. Pengawasan perlu, tetapi bukan dengan kecurigaan berlebihan, apalagi dengan bureaucratic control. Gunakan saja result-based control yang lazim dipakai perdagangan modern.

Di Indonesia, harus diakui, banyak kemajuan yang dicapai dari transformasi Pertamina yang didasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Namun, kemajuan itu mahal pengakuan karena banyak kepentingan terusik, baik dari dalam maupun luar negeri.

Kalau Pertamina kuat, misalnya, tidak ada ruang bagi tangan-tangan perdagangan asing yang mengincar pasar-pasar gemuk di kota-kota besar. Mereka akan berjuang mengarahkan Pertamina agar mengurus pasar di pinggiran saja yang ongkos kirim BBM-nya lebih mahal dengan menunjukkan NOC Indonesia ini kalah bersaing karena tidak efisien.

Di negara yang politiknya kondusif, NOC-nya berhasil memutasikan DNA oil trader-nya. Aramco, misalnya, melakukan penetrasi ke Amerika dengan jaringan SPBU Motiva. Petronas membeli jaringan SPBU di Afrika Selatan, Petrobras (Brasil) mengembangkan eksplorasi laut dalam bersama Statoil (Norwegia), dan NIOC (Iran) keuangannya beroperasi di New Jersey dan Swiss.

Untuk menangkal spekulator, NOC memodernkan tangan- tangan oil trading-nya. PETCO (milik Petronas), NICO (milik NIOC-Iran), Saudi Petroleum International (Saudi Aramco), Sonatrach Petroleum International (Sonatrach, Aljazair), Q8 (Kuwait), dan Petral (Pertamina) mengalami overhaul.

Oil Trading Company itu ditaruh di pusat perdagangan dunia dan serius melawan broker yang dulu dikuasai para kroni. Mereka juga bertransformasi dari buying agent menjadi trader modern.

Wajah baru ”trader” minyak

Jelaslah kesejahteraan kini sudah tidak bisa dipungut begitu saja dari perut bumi. Sebagai big consumer, Indonesia bisa sejahtera melalui Pertamina asalkan Petral dipertajam perannya dengan melakukan transaksi jangka panjang untuk pasar domestik, tetapi juga melakukan penetrasi global, kerja sama dengan pemilik kilang mancanegara, swap produksi, dan sebagainya. Adaptasi diperlukan untuk menghadapi wajah perdagangan yang sudah berubah.

Ia butuh fleksibilitas dan kepercayaan. Dan, karena financing-nya kompleks, butuh pemahaman tingkat tinggi, konsensus politik, dan status ”Approved Oil Trader” yang dikeluarkan otoritas perdagangan dunia.

Sepengetahuan saya, Petral sudah memilikinya, bahkan mulai kembali dipercaya bank asing. Jadi, Petral berpotensi memperoleh competitive price untuk konsumen Indonesia asalkan diberi kepercayaan lebih. Tanpa itu, hanya ada kecurigaan dan rakyat semakin menderita.

Kapal Mata-Mata Australia Memasuki Pantai Yogyakarta Tanpa Izin

GUNUNG KIDUL – Kapal pesiar dari Australia yang penumpangnya mengaku turis dari Bali menuju Nias mengaku tersesat alias nyasar di perairan Wediombo, Girisubo, Gunung Kidul, Yogyakarta, Kamis (19/6) sore.

Dua di antara tiga penumpang kapal sempat turun ke Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Wediombo dengan menggunakan sekoci karet untuk mengambil foto, tetapi mereka buru-buru kembali ke kapal induk ketika ditanyai terkait tujuan pendaratan oleh anggota tim SAR.

Pendaratan mereka tak sampai dua menit. Kepada tim SAR mereka berjanji akan kembali ke darat untuk menjelaskan maksud kedatangan. Setelah ditunggu hingga malam hari, kapal pesiar kecil itu tak kunjung menepi dan hanya mematikan mesin sejauh 500 meter dari garis pantai.

Seorang petugas polisi air (Satpolair), satu anggota TNI AL, dan tiga anggota tim SAR mencoba mendekati kapal tersebut dengan menggunakan kapal jukung.

”Kami takut dan tidak berani masuk ke kapal itu karena khawatir mereka bersenjata. Dari samping kapal, kami hanya bertanya tentang asal, tujuan, dan apakah mereka perlu bantuan. Namun, tidak ada yang menanyakan tentang kelengkapan surat atau paspor,” ujar Koordinator SAR Wediombo Subowo, yang ikut menanyai penumpang kapal, saat ditemui Kompas, Jumat (20/6).

Menurut Subowo, kapal tersebut sempat bermalam di perairan Wediombo sebelum melanjutkan perjalanan pada Jumat pukul 07.00. Semalaman, petugas terus berjaga-jaga di sepanjang pantai. Kapal berwarna putih itu bertuliskan ”Captain Jack” dengan bendera kecil merah putih yang kemungkinan palsu.

Kapal tersebut berpenumpang tiga orang dengan usia di bawah 40 tahun. Mereka adalah Roland Jacko, Jack Sodock, dan Steven. Roland bisa sedikit berbahasa Indonesia.

Krisis Ekonomi Tiga Dekade Indonesia Selalu Paling Bawah

”Hal yang terburuk adalah, jika semuanya berlanjut seperti yang sudah-sudah, situasi akan menjadi lebih buruk.”

Demikian pernyataan Ketua Delegasi Kuba Jose Ramon Machado Ventura pada pertemuan pangan dunia yang diselenggarakan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di Roma, 4 Juni lalu.

Selama tiga dekade, situasi memang lebih buruk. Ada 1,2 miliar penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan. Selama tiga dekade terakhir krisis besar selalu bermunculan, dimulai dari krisis utang yang menyebabkan Amerika Latin mengalami dekade hilang pada dekade 1980-an. Krisis utang Amerika Latin justru makin memburuk karena resep Dana Moneter Internasional (IMF) ditambah lagi rezim diktator tak becus.

Hal itu dilanjutkan dengan krisis keuangan 1990-an di Asia, Turki, dan merembet ke Rusia. Lagi, peran IMF, Bank Dunia, dan konsensus Washington tak mampu melepas negara yang terjerat krisis keluar dari masalah.

Adalah perlawanan pada octopussy IMF, Bank Dunia, Wall Street, dan Gedung Putih yang membangkitkan negara seperti Venezuela, Rusia, Bolivia, dan dalam konteks lebih lunak, Thailand, Korea Selatan, serta Malaysia, yang tak mau menerima bulat-bulat resep berbasiskan Gedung Putih, yang dikenal melekat dengan ”Doktrin Wolfowitz”. Doktrin yang diprakarsai Paul Wolfowitz, mantan Dubes AS untuk Indonesia, memiliki visi dan misi AS untuk mengontrol berbagai negara.

Ventura secara langsung mengingatkan dunia yang diatur kekuatan AS, dengan penekanan pada pola pandangnya sendiri. Pola pandang ini telah menghasilkan tragedi dan kerusakan sistem global. Kekuatan Washington itu masih dilandasi pandangan Henry Kissinger, mantan Menlu AS.

Dalam kata-kata Henry Kissinger, ”Dengan mengontrol minyak, Anda akan mengontrol negara. Dengan mengontrol pangan, Anda akan mengontrol rakyat.”

Kalimat Kissinger ini diingatkan kembali dalam tulisan Michel Chossudovsky berjudul ”Krisis Global: Pangan, Air, dan Bahan Bakar Energi. Tiga Kebutuhan Fundamental dalam Kehidupan sedang dalam Kehancuran”.

Chossudovsky adalah profesor ekonomi dari University of Ottawa dan Direktur Centre for Research on Globalization, Kanada.

Kekuatan dan kontrol Washington atas dunia kini tidak lagi hanya berada di Gedung Putih, tetapi juga melebar ke Wall Street dan lembaga keuangan dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan kini merambah ke PBB, di mana peran-perannya sebagai stabilisator ekonomi dan politik dunia makin sirna. Buahnya adalah rusaknya sebuah tatatan dunia di berbagai aspek.

Kombinasi kekuatan itu telah melahirkan krisis global jilid 3, yakni krisis pangan, minyak, bursa, dan ekonomi, yang merembet ke krisis politik di berbagai negara, ditandai dengan protes warga yang jengkel dengan kenaikan harga pangan dan minyak dengan segala dampaknya.

Menurut Chossudovsky, kemiskinan, kekacauan, dan ketidakstabilan politik di satu negara juga bisa muncul karena ketidakbecusan pemerintahan sebuah negara mengelola negaranya. Namun, kini ada kekuatan ekstra penambah kekacauan yang menghasilkan globalisasi kemiskinan dan kekacauan politik, yakni tatanan ekonomi dan politik dunia yang sedang hancur berantakan.

Tetap terimbas

Sebagus apa pun pengelolaan negara dilakukan sebuah pemerintahan, negara ini tetap mengalami imbas dari roda globalisasi yang kacau dan kapitalistis. Asia, yang dikenal sebagai kawasan pertumbuhan global dengan manajemen ekonomi relatif lebih baik, tak luput dari masalah itu.

”Mood pada pertemuan tahun lalu ditandai dengan optimisme soal prospek pertumbuhan ekonomi di Asia. Namun, akibat kejadian terakhir ini, seperti kenaikan harga pangan dan BBM serta penurunan pertumbuhan ekonomi global, kawasan Asia sedang menghadapi sebuah realitas ekonomi dan politik baru,” kata Sushant Palakurthi Rao, Direktur Rekanan dan Wakil Kepala Asia World Economic Forum (WEF), menjelang penyelenggaraan WEF di Kuala Lumpur, 15-16 Juni.

”Pertemuan ini merupakan kesempatan bagi para pemimpin kawasan untuk tidak saja merespons ketidakpastian baru dalam jangka pendek, tetapi juga bagaimana beranjak ke depan menuju agenda bersama di Asia Timur untuk menghadapi tantangan global,” kata Rao.

Kekacauan atau krisis global terbaru itu adalah fakta dan bukan semata-mata pandangan emosional dari kelompok kiri.

Chossudovsky memberi contoh komoditas pangan dan minyak yang penentuan harganya kini diatur di bursa New York dan Chicago.

Chossudovsky mengatakan, krisis harga tidak disebabkan kelangkaan pasokan atas berbagai komoditas, tetapi disebabkan kontrol harga di tangan segelintir korporasi atau pelaku.

Lebih ironis lagi, perilaku para pelaku itu tidak diatur dengan peraturan yang mengharuskan transparansi dan integritas, tetapi dengan peraturan rimba raya.

Perilaku liar ini semakin menjadi-jadi karena para senator AS dari Partai Republik tidak mendukung keinginan rekan mereka, Partai Demokrat, untuk mengatur Wall Street (New York) dan bursa komoditas di Chicago.

Setelah skandal mega melibatkan kebangkrutan Enron pada tahun 2001, kini terus berlanjut krisis baru yang ditandai dengan kebangkrutan mega Bear Stearns, lembaga keuangan AS yang hancur karena aksi-aksi manipulatif, diikuti kebangkrutan Goldman Sachs dan Merrill Lynch.

Perilaku pasar tak tertata kini tidak lagi mengorbankan penduduk global, tetapi mengakibatkan gelombang kebangkrutan korporasi keuangan global, yang punya tali temali dengan kehancuran keuangan minimal 1 triliun dollar AS.

Hal ini membuat korporasi makin menggila, menggasak ke semua sektor dengan harapan bisa menutupi kerugian. Setelah kegagalan pada pengucuran kredit di sektor perumahan AS, kini spekulan kelas kakap dunia menggasak komoditas yang menjadi kebutuhan global.

Kini minyak, yang menjadi kebutuhan penting karena permintaan besar dari India, China, Brasil, dan Rusia, menjadi sasaran ajang spekulasi besar-besaran.

Inilah semua penyebab kekacauan global terbaru, yang membuat Soros meminta agar atur, atur, dan aturlah para pelaku pasar. Presiden AS George W Bush tak hirau. Ia masih saja mengatakan bahwa ekonomi tak mengalami masalah.

Jadi, kita agar buka matalah. Ada kekuatan global yang destruktif. Jika RI masih saja dikelola secara serampangan dengan nepotisme para ndoro, wabah korupsi, apatisme dan hedonisme kaum menengah dan manajemen pemerintahan kacau-balau, rasanya tak kunjung ada kebangkitan RI karena akan dihunjam kekacauan domestik dan juga roda globalisasi yang tak beretika.

Malaysia Pangkas Dana Hiburan Buat Pejabat Karena Kenaikan Harga BBM

Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi kemarin menyatakan akan mencadangkan 20 miliar ringgit (sekitar Rp 5,7 triliun) untuk berjaga-jaga menyusul pengumumam kenaikan harga bahan bakar minyak yang mencapai 41 persen. Cadangan itu diambil dari anggaran sejumlah proyek pemerintah yang ditunda dan pemangkasan sejumlah fasilitas pejabat di pemerintahannya.

Biaya yang disunat itu antara lain berupa biaya perjalanan dinas atau lawatan ke luar negeri dan biaya hiburan anggota kabinetnya. Kata Badawi pemangkasan itu mencapai 10 persen dari total dana-dana fasilitas yang telah dianggarkan tersebut.

Cuma pemimpin oposisi Lim Kit Siang menyatakan pemangkasan anggaran fasilitas pejabat itu masih jauh dari cukup. “Kalau pemerintah bisa menaikkan harga bahan bakar hingga 41 persen mengapa cuma memangkas 10 persen saja,” ujarnya. Karena itu dia mendesak pemerintah memotong dana fasilitas pejabat itu hingga 50 persen.

Obama Janjikan Jerusalem Sebagai Ibukota Abadi Israel Bila Terpilih Jadi Presiden Amerika Serikat

Calon presiden partai Demokrat AS Barack Obama mengubah dukungannya terhadap Israel mengenai Jerusalem, dengan mengatakan Palestina dan Israel harus membicarakan masa depan kota suci itu.

Para pemimpin Palestina bereaksi dengan marah dan cemas, Rabu, karena Obama mengatakan Jerusalem sebaiknya menjadi ibukota Israel yang tidak dapat dibagi.

“Sudah jelas, terserah pada pihak-pihak tersebut untuk membicarakan berbagai masalah itu. Dan Jerusalem akan menjadi bagian dari pembicaraan,” kata Obama kepada CNN, ketika ditanya apakah Palestina tidak punya peluang memiliki kota tersebut.

Ketika ditanya apakah ia menentang pembagian Jerusalem, Obama mengatakan: “Sebagai masalah praktis, akan sangat sulit dilaksanakan. Dan saya pikir adalah bijak bagi kita untuk — untuk berusaha agar ada sistem di mana setiap orang memiliki akses ke tempat keagamaan yang luar biasa di Jerusalem Kuno, tapi Israel sah memiliki kota itu”.

Sebelumnya, di Washington, Rabu, Obama mengatakan pada Komisi Urusan Publik Israel Amerika, kelompok lobi pro-Israel, bahwa jika terpilih sebagai presiden November, ia akan mengusahakan perdamaian bagi sebuah negara Palestina yang berdampingan dengan Israel.

“Jerusalem akan tetap ibukota Israel, dan itu (Jerusalem) harus tetap tidak terbagi,” katanya pada kelompok lobi yahudi itu.

AS dan negara besar lainya tidak menganggap Jerusalem sebagai ibukota Israel — kedutaan besar AS dan negara lainnya berada di Tel Aviv — dan tidak mengakui pencaplokan Israel atas Jerusalem Timur Arab setelah perebutannya dalam Perang Timur Tengah 1967.

Presiden AS George W. Bush yang akan mengakhiri masa tugas telah mensponsori pembicaraan damai antara Israel dan Palestina dengan harapan untuk menjamin perjanjian mengenai negara Palestina sebelum ia meninggalkan jabatannya Januari 2009.

Salah satu masalah tersulit adalah memecahkan tuntutan Israel dan Palestina yang bersaing atas Jerusalem

Barrack Obama Akhirnya Menang Berkat Dukungan Penuh Pelobi Yahudi Zionisme

OBAMA membuat sejarah dengan mengalahkan Hillary Rodham Clinton dalam lap akhir penentuan calon presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat.

Kemenangan itu membuktikan bahwa publik AS, setidaknya dalam pandangan para pendukung Obama, memang menghendaki perubahan mendasar di negara itu. Perjuangan Obama belum berakhir.Dia harus mengatur strategi untuk menghadapi John McCain (Partai Republik) dalam lap terakhir perebutan kursi presiden pada November mendatang.

Keduanya mengusung pandangan-pandangan khas Partai Demokrat dan Republik. Obama dan McCain sama-sama menganggap hubungan luar negeri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peran dan posisi internasional AS. Mereka juga melihat bahwa AS harus mempertahankan statusnya sebagai negara besar dengan segala konsekuensinya.

Sebagai calon dari Partai Demokrat, Obama yakin atas prinsip bahwa AS harus menjadi bagian dari kolaborasi internasional untuk menyelesaikan masalah-masalah global. Namun, keterlibatan AS bukan hanya menjadi bagian penyelesaian,melainkan juga bagian masalah-masalah global.

Banyak kasus yang membuktikan konsekuensi dari keterlibatan itu, yaitu dukungan dan kecaman publik AS sendiri maupun masyarakat internasional. Obama tidak akan dapat menghindar dari kenyataan tersebut jika terpilih sebagai presiden. Sejarah AS ke depan akan berubah jika Obama terpilih menjadi presiden dan konsisten dengan janji-janjinya selama kampanye.

Publik AS juga akan memonitor apakah Obama akan memenuhi janjijanji politiknya.Yang jelas, sampai tahap akhir proses pemilihan calon dari Partai Demokrat kemarin Obama masih meyakinkan pendukungnya bahwa dia akan memenuhi janji.

Kemenangan Obama atas Hillary setidaknya membuktikan bahwa, di mata para pendukung,Obama memiliki visi membangun citra AS,terutama di luar negeri,tidak dengan cara-cara seperti yang diterapkan George W Bush.

Tidak seperti Bush yang memandang dunia secara monolitik dan yang memiliki banyak ”gelar”, misalnya: The Master of Empty Promises, The Big Satan, The Big Evil, Warmonger,atau War Maniac, Obama setidaknya sampai kemarin, dan sesuai dengan prinsip Partai Demokrat,berhasil meyakinkan para pendukung bahwa dia tidak layak menerima gelar-gelar semacam itu. Obama berpendapat bahwa AS harus menjadi pemimpin dunia dengan memberi sebuah contoh positif.

Ketika dunia menghujat AS karena tindakan-tindakan internasionalnya,Obama mengatakan bahwa itu adalah kesalahan besar Bush yang tidak boleh terulang. Pesan Obama ini untuk menggiring publik AS dalam pemilihan presiden nanti— untuk melihat isu-isu internasional AS dari perspektif yang lebih moralis.

Dalam artikelnya di jurnal Foreign Affairs edisi Juli/ Agustus 2007,Obama pernah mengatakan, setelah perang Irak ada yang berpandangan bahwa AS cenderung berorientasi ke dalam.Menurutnya, pandangan itu keliru. Momentum AS belum berakhir, bahkan harus ditangkap sebagai gejala untuk membentuk AS yang baru.

Dia juga mengatakan perang harus diakhiri dengan caracara yang bertanggung jawab dan setelah itu memperbarui kepemimpinan AS, baik secara militer, diplomatik maupun moral, untuk menghadapi ancaman baru. Di bagian lain tulisannya, Obama mengatakan AS tidak dapat menghadapi tantangan abad ini sendirian.Namun, dunia juga tidak dapat menghadapi tantangan itu tanpa AS.Apa yang dikatakan Obama dalam artikel itu untuk membuktikan kepada dunia bahwa AS akan tetap menjadi bagian penting dari masalahmasalah dunia.

Dalam pandangan Obama, jika ada yang melihat kekuatan AS menurun, itu sebenarnya karena AS telah mengabaikan janji-janji besar dan tujuan-tujuan historisnya di dunia. Adalah menarik untuk menyimak ucapannya dalam artikelnya di jurnal tersebut, ”We must use this moment both to rebuild our military and to prepare it for the missions of the future.We must retain the capacity to swiftly defeat any conventional threat to our country and our vital interests. But we must also become better prepared toputbootsonthegroundinorder totakeonfoesthatfightasymmetrical and highly adaptive campaigns on a global scale.”

Dalam pernyataan ini tersirat pesan bahwa kalaupun ada perbedaan kebijakan luar negeri Obama dengan Bush, itu hanyalah bersifat taktikal. Keduanya menganut pandangan yang sama mengenai pentingnya mencapai sasaran strategis dengan melindungi hegemoni AS melalui kekuatan militer. Jika Obama terpilih menjadi penghuni berikutnya di Gedung Putih, rakyat AS akan melihat presiden baru yang akan melanjutkan perang di Irak secara terbatas.

Presiden baru yang kebijakan luar negerinya tidak akan berbeda signifikan dibanding pendahulunya. Kemenangan atas Hillary Clinton adalah bukti kepandaian Obama meyakinkan pendukungnya bahwa dia betul-betul akan memperbarui kepemimpinan AS di dunia. Obama akan melakukan itu dengan membangun kembali aliansi, kemitraan, dan institusi yang dibutuhkan untuk menghadapi ancaman bersama dan meningkatkan keamanan bersama.

Reformasi aliansi dan institusi ini tidak akan terjadi melalui cara-cara bullying terhadap negara-negara lain. Warna Demokrat dan Republik dipastikan akan muncul dalam setiap kebijakan AS baik itu di Eropa,Timur Tengah, maupun Asia dan kawasan- kawasan lain. Bagi Obama maupun McCain, Asia tetap merupakan bagian integral kebijakan global AS.

Di wilayah ini ditemukan pula beberapa negara kunci, antara lain Jepang dan Korea Selatan, yang bukan hanya secara kolektif berperan dalam mendukung strategi dan kebijakan regional AS, tetapi juga secara individu berperan dalam menjaga stabilitas dan kemakmuran kawasan.

Obama,dan mungkin juga McCain, mengadopsi pandangan demikian karena pertimbangan bahwa kelangsungan hidup AS sampai batas tertentu juga dipengaruhi— kalau tidak ditentukan—oleh perkembangan kawasan ini. Intinya, Obama dan McCain tidak akan berbeda pendapat mengenai arti penting dan strategisnya Asia. Mereka hanya berbeda mengenai bagaimana menjalankan strategi AS di Asia.

Perspektif Obama mengenai Asia, khususnya Asia Tenggara, tidak bisa dilepaskan dari pengalamannya tinggal di Indonesia.Pengalaman ini memberinya perspektif kuat mengenai Asia Tenggara. Jika terpilih menjadi presiden, Obama dipastikan akan meningkatkan arti penting Asia Tenggara dalam diplomasi AS. Gedung Putih di bawah Obama akan memberi bobot lebih besar kepada Asia Tenggara pada umumnya,dan Indonesia pada khususnya.

Obama paham bahwa pada abad ke-21 ini keamanan AS sangatterkaitdengan Asia.Karena itu, kebijakan sempit yang hanya fokus pada kawasan Timur Tengah menjadi kontraproduktif. Dalam pandangannya, AS harus mengatasi kekuatan China dengan caracara yang lebih canggih, dan Obama sepertinya adalah seseorang yang memahami Asia Tenggara dengan baik.

Pada masa Bush, dan jika Obama atau McCain terpilih menjadi presiden AS kelak, Indonesia memang akan selalu berada dalam radar kebijakan AS di Asia Tenggara. Besarnya taruhan dan kepentingan AS di kawasan Asia Tenggara karena faktor ancaman terorisme membuat Indonesia menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kebijakan antiteror Bush.

Tetapi keberpihakan Indonesia yang terlalu jauh kepada kebijakan Bush tersebut memancing reaksi keras dari publik Indonesia. Sebagai orang yang pernah tinggal di Indonesia, Obama tidak akan memotret Indonesia melulu melalui prisma kebijakan antiteror, apalagi jika caracara perang AS melawan teror itu tidak sejalan dengan kepentingan Indonesia. Obama sadar akan kuatnya sentimen-sentimen anti- AS di Indonesia,terlebih jika hal itu terkait dengan isu terorisme.

Dalam konteks ini, mungkin Obama bisa memikirkan pendekatan lain terhadap Indonesia yang tidak mengandung potensi lahirnya sentimen anti-AS. Hubungan AS dengan Indonesia pascapemilihan presiden AS tidak akan berubah. AS, di bawah Obama atau McCain,sadar bahwa Indonesia kini dalam proses menuju sebuah negara demokrasi yang utuh.

Sebuah proses panjang yang juga menjadi kepentingan dan harapan AS untuk melihat Indonesia berhasil di bidang itu. Dukungan AS kepada Indonesia dalam proses demokrasi ini memang tidak bersyarat. Tetapi hubungan bilateral kedua negara sepertinya bisa menjadi persoalan jika saja Indonesia tidak mampu mengatasi sentimensentimen anti-AS yang dapat muncul setiap saat. Indonesia harus sadar bahwa siapa pun yang berkuasa di Gedung Putih nanti, perkembangan di Indonesia tetap dipantau, apalagi jika menyangkut persoalan hak asasi manusia.

Adalah kenyataan politik bahwa AS dan Indonesia di masa lalu tidak mampu menghindari gangguan-gangguan dalam hubungan bilateral. Karena itu, ”guncangan” dalam hubungan AS–Indonesia di masa lalu harus menjadi pelajaran pemerintahan baru di Gedung Putih dalam membentuk hubungan bilateral yang lebih stabil dan konstruktif. Indonesia tidak bisa menghindar untuk melihat kenyataan bahwa AS (akan atau harus) berubah.Tetapi Indonesia harus melihat perubahan-perubahan itu sebagai kesempatan untuk ”menata” kembali hubungannya dengan AS meskipun selama di Indonsia Barack Obama membenci ibunya karena terlalu aktif dan dermawan dalam lembaga sosial yang mengurusi rakyat miskin Indonesia.(*) *)Peneliti Senior CSIS dan Dosen Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia