Category Archives: Indonesia Malaysia

Hasil Perundingan Indonesia Malaysia Adalah Malaysia Tidak Akan Lagi Memborgol Petugas Indonesia Yang Melanggar Batas Negara

Bingung juga mengikuti arah dari persengketaan RI-Malaysia terbaru ini. Awalnya hanyalah pengejaran nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Tanjung Berakit, Bintan, 13 Agustus 2010. Perairan ini jelas milik Indonesia. Nah, kemudian polisi kelautan Malaysia malah ”menculik” tiga petugas patroli dari Kementerian Kelautan dan Perikanan itu. Lebih jauh lagi, penangkapan terhadap tiga petugas itu berlanjut dengan perlakuan oleh aparat Malaysia.

Tiga petugas itu diminta membuka baju dan kemudian dipakaikan seragam narapidana dan tangan mereka diborgol pula. Intinya, inilah awal kemarahan. Di sisi lain, nelayan Malaysia tak diperlakukan seperti itu, malah dipulangkan ke Malaysia sekaligus membawa ikan curiannya ke Malaysia.

Hermanto, satu dari enam petugas Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) yang berpatroli saat insiden, menyatakan dengan tegas, Malaysia jelas melanggar batas wilayah Indonesia sebanyak dua kali.

Pertama, hal itu dilakukan lima kapal nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Bintan. Kedua, hal serupa dilakukan kapal patroli Polis Diraja Malaysia saat berusaha membebaskan lima kapal tersebut.

Bukti paling gampang, kata Hermanto, adalah saat terjadi komunikasi melalui telepon seluler dari Dolphine 015, atau kapal cepat yang digunakan untuk patroli PSDKP, dengan anggota Polis Diraja Malaysia.

Anggota Polis Diraja Malaysia saat itu menggunakan telepon seluler (HP) milik dari salah satu aparat PSDKP yang mereka tahan. ”Kalau HP saya dengan HP rekan saya masih bisa digunakan untuk berkomunikasi, artinya apa, posisi saat itu berada di wilayah Indonesia. Itu pasti,” kata Hermanto.

Pertemuan Kinabalu

Menlu Marty Natalegawa dengan jelas juga sudah menegaskan bahwa peristiwa itu terjadi di perairan Indonesia.

Merasa pemerintahnya tidak ”berdaya” karena banyak pertimbangan, muncullah kemarahan warga Indonesia, termasuk dengan pelemparan kotoran ke Kedubes Malaysia di Jakarta. Inilah ekses negatif dari aksi negara serumpun yang sudah tidak berterima di mata rakyat Indonesia. Kemarahan berawal dari perlakuan pada tiga aparat KKP itu.

Isu itu kemudian berkembang menjadi sengketa wilayah kelautan kedua negara. Mengapa ada sengketa untuk perairan Tanjung Berikat yang jelas-jelas sudah dinyatakan sebagai wilayah Indonesia oleh Menlu?

Memang ada persoalan, yakni petugas KKP tidak pakai GPS-lah, tidak berkoordinasilah, tidak inilah, tidak itulah. Namun, inilah negara petugas patroli itu, entah negara ini miskin, lembek, atau kehabisan baterai sehingga alat GPS mati. Mereka bertugas di wilayahnya sendiri, yang memang seharusnya tidak digerayangi nelayan asing, apalagi serumpun. Ini namanya serumpun?

Lalu, dari Kinabalu muncul berita bahwa Malaysia, lewat menlunya, Anifah Aman, berjanji tak akan memborgol lagi petugas RI. Menlu kita pun mengatakan, perlakuan itu hanya diberlakukan pada Indonesia. Lho, mengapa harus bangga dengan janji tak memborgol? Wong, ikan kita dicuri di wilayah kita. Janji tak diborgol saja, kok kita bangga ya?

Diplomasi Damai Menteri Luar Negeri Indonesia Malaysia Dimulai Di Hotel Le Meridien

Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Sri Hanifah Aman bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa di Hotel Le Meridien, Kota Kinabalu, Sabah, Senin (6/9). Kedua pihak sepakat memperkuat komunikasi demi kebaikan hubungan bilateral. Iwan Santosa

Datuk Hanifah Aman menjelaskan, kedua pihak sepakat untuk mempercepat pembahasan sengketa perbatasan laut dua negara di Selat Malaka, Selat Malaka sebelah selatan, Selat Singapura, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi.

Pembahasan dilakukan juga oleh kedua menlu di sela Sidang Umum PBB di New York bulan September dan Desember 2010. Sementara pertemuan teknis ke-16 dan ke-17 digelar tanggal 11-12 Oktober di Indonesia dan tanggal 23-24 November di Malaysia.

Demi mencegah terulangnya pelanggaran batas, kapal nelayan Indonesia dan Malaysia ditetapkan untuk dilengkapi alat pelacak yang terhubung dengan sistem manajemen lalu lintas kapal di RI dan Malaysia.

Lebih lanjut, ujar Hanifah, aparat pemerintah kedua negara akan didorong melakukan kegiatan bersama untuk membangun komunikasi lebih baik.

Pihak Malaysia mengajukan keberatan terhadap demo brutal dan pelemparan kotoran manusia ke kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Hanifah mengatakan, pihaknya menyadari perbuatan tersebut tidak mencerminkan tata susila masyarakat Indonesia yang dikenal santun.

Marty mengatakan, saat ini kedua pihak sepakat bagaimana membuat format hubungan yang selaras untuk masa depan. ”Pemerintah Indonesia juga berusaha semaksimal mungkin agar perbuatan tidak pantas tidak terulang lagi,” kata Marty.

Sekolah anak TKI

Marty menjelaskan, Malaysia setuju menyediakan fasilitas bagi sekitar 50.000 anak TKI yang tidak bersekolah di Sabah. Fasilitas pendidikan segera dibuka di kawasan perkebunan-perkebunan di Sabah.

Duta Besar RI untuk Kerajaan Malaysia Tan Sri Da’i Bachtiar menjelaskan, saat ini sudah dibuka Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) yang akan memayungi pusat kegiatan belajar mengajar (PKBM) di perkebunan-perkebunan yang tersebar di Sabah.

SIKK menetapkan standardisasi bagi PKBM yang pada tahap awal mendatangkan 100 guru dari Indonesia. Dia mengaku mendapat dukungan sejumlah perusahaan besar, seperti Felda dan Sime Darby, yang menyediakan bangunan-bangunan untuk sekolah bagi anak-anak TKI di perkebunan.

Sementara di Negara Bagian Sarawak diketahui ada sekitar 5.000 anak dari keluarga TKI yang belum bersekolah. ”Kalau di semenanjung Malaysia juga banyak anak TKI yang tidak bersekolah, tetapi tersebar dan tidak terkonsentrasi pada wilayah tertentu,” kata Da’i.

Di tengah pertemuan itu, Kementerian Luar Negeri Malaysia mengaku menerima laporan adanya pemerasan oleh oknum petugas Indonesia terhadap tujuh nelayan yang ditangkap. Menlu Hanifah mengatakan, pihaknya sudah menerima laporan pemerasan dari Polis Diraja Malaysia. Pihak Indonesia membantah pemerasan itu.

”Insiden 13 Agustus itu akan dibahas dalam permusyawaratan (perundingan) hari ini supaya tidak terjadi lagi. Selain itu, banyak dari persoalan perbatasan yang turut dibahas,” kata Hanifah.

Kisruh Perbatasan Laut Indonesia Malaysia Di Daerah Abu Abu

Konflik perbatasan Indonesia-Malaysia terjadi di daerah ”abu-abu” yang belum disepakati kedua pihak. Indonesia selesai menetapkan batas wilayah tahun 1999, dengan menerapkan teknik survei pemetaan mutakhir yang mengacu pada the United Nations Convention on the Law of the Sea.

Indonesia negeri yang unik. Daratannya berupa belasan ribu pulau besar-kecil, sedangkan perairannya meliputi 60 persen total wilayah atau 3.257.483 kilometer persegi. Cakupan laut seluas ini hampir menyamai daratan India. Panjang bentang wilayahnya lebih dari 7.365 kilometer, nyaris sama dengan bentangan daratan Amerika Serikat.

Memiliki kondisi geografis didominasi laut yang relatif dangkal, Indonesia—yang dijuluki Benua Maritim—dipagari oleh tiga jenis batas wilayah laut, yaitu Batas Laut Teritorial, Landas Kontinen, dan Zona Ekonomi Eksklusif. Penetapan tiga batas wilayah maritim ini diatur dalam the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) I dan III.

Pada Batas Laut Teritorial yang berjarak 12 mil laut dari garis pangkal, negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah itu. Apabila ada kapal asing yang masuk, misalnya, petugas keamanan berhak menangkap bahkan menenggelamkan.

Pada Landas Kontinen yang berjarak 200 mil dari garis pangkal, negara berdaulat untuk mengelola sumber daya alam di bawah dasar laut, seperti sumber tambang. Namun, bisa mengklaim penambahan zona ini apabila menemukan sedimen di dasar pulau yang dibuktikan secara ilmiah memenuhi ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada Zona Ekonomi Eksklusif yang berjarak 200 mil dari garis pangkal, negara memiliki kedaulatan eksklusif untuk pemanfaatan sumber daya di kolom air hingga ke permukaannya.

Survei kelautan

Bagi Indonesia yang memiliki wilayah perairan yang luas, proses pemetaan maritim untuk memenuhi ketentuan PBB tersebut bukanlah hal yang mudah. Untuk pengukuran batas di laut, diperlukan teknik survei yang berbeda dan kapal riset yang dilengkapi peralatan yang mendukung.

Survei pemetaan batas laut di Indonesia, tutur Sobar Sutisna, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), dilakukan pihaknya dengan menggunakan Kapal Baruna Jaya II milik BPPT (Badan Pengkajian Penerapan Teknologi) tahun 1996 hingga 1999. Survei ini mendapat bantuan teknis dari Norwegia.

Peralatan yang digunakan antara lain penginderaan jauh dengan sistem radar dan laser dari udara. Adapun untuk memantau batimetri di dasar laut menggunakan sistem sonar (multibeam echosounder). Sistem sonar ini dapat menjangkau kedalaman hingga 7.000 meter.

Dengan sarana ini dilakukan survei ke pulau-pulau terluar di wilayah Nusantara. Di pulau terluar kemudian ditetapkan titik dasar terluar. Antara titik itu lalu ditarik garis pangkal geografis. ”Selama tiga tahun survei dihasilkan lebih dari 230 titik dasar di 120 pulau terluar,” kata Sobar.

Perundingan batas maritim

Menggunakan peta batas wilayah yang telah disusun itu, Indonesia kemudian mengadakan perundingan dengan 10 negara tetangga. Awal perundingan tahun 1970-an, dilakukan dengan Singapura dan Malaysia. ”Hingga kini, Indonesia telah memiliki 18 perjanjian batas maritim dengan negara tetangga,” ujar Asep Karsidi, Kepala Bakosurtanal.

Dari seluruh batas wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, batas terpanjang memang dengan Malaysia. Perundingan batas wilayah maritim Indonesia-Malaysia, sejak terhenti pada awal 2009, akan dimulai lagi pada Senin (6/9) di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Perundingan akan membahas semua batas wilayah laut yang belum disepakati yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Batas Laut Teritorial, dan Landas Kontinen.

Saat ini sebagian besar Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen telah disepakati, baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Persetujuan Batas Laut Teritorial telah mencapai lebih dari 80 persen, tetapi yang belum disepakati adalah 20 persen, yaitu sepanjang hampir 50 mil laut atau 92,6 kilometer.

Di bagian barat, daerah ”abu-abu” itu berada di selatan Selat Malaka, daerah antara Johor dan Pulau Bintan, serta perairan dekat Batu Puteh di timur Singapura. Di perairan Kalimantan batas yang belum disepakati ada di Tanjung Datuk yang berhadapan dengan Laut China Selatan dan Pulau Sebatik di Laut Sulawesi.

Landas Kontinen yang sudah disepakati mencapai lebih dari 95 persen, atau masih menyisakan batas berjarak kurang dari 100 mil atau 185,2 kilometer, yaitu di Ambalat Laut Sulawesi.

Namun, hingga kini Zona Ekonomi Eksklusif di perbatasan kedua negara belum ada satu pun yang disepakati. Padahal, kawasan ini memiliki arti penting bagi aspek ekonomi karena Zona Ekonomi Eksklusif mengandung potensi perikanan dan nilai strategis dari aspek transportasi laut.

”Perundingan pada September mendatang kemungkinan akan berlangsung alot dan memakan waktu lama,” ujar Sobar, selain karena kepentingan ekonomi, juga karena suasana politis yang sedang menghangat.

Perundingan Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen dilaksanakan setelah keluarnya UNCLOS I tahun 1958. Perundingan Indonesia-Malaysia untuk dua batas itu dilaksanakan sejak tahun 1969 hingga 1972.

Adapun ketetapan tentang Zona Ekonomi Eksklusif baru dikeluarkan pada UNCLOS III tahun 1982. Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia mencapai total 1.200 mil atau 2.222 kilometer. ”Zona sepanjang ini belum ada yang disepakati,” ujar Sobar. Zona itu meliputi garis sepanjang 300 mil laut di Selat Malaka, 800 mil laut di Laut China Selatan, dan sekitar 100 mil laut di Laut Sulawesi.

”Di antara perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif tersebut yang sering menimbulkan konflik ada di Selat Malaka. Karena Malaysia menarik garis masuk ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yang ditetapkan Indonesia hingga sejauh 9 mil,” papar Sobar.

Menghadapi kondisi belum adanya kesepakatan batas wilayah di beberapa titik di Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi, Indonesia perlu mengintensifkan patroli lautnya di tiga kawasan itu.

Delegasi Indonesia dan Malaysia Melakukan Perundingan Diplomasi

Delegasi Republik Indonesia dan Kerajaan Malaysia mengadakan pertemuan informal terkait perundingan perbatasan kedua negara di Kota Kinabalu, Minggu (5/9). Ini merupakan pertemuan pertama kedua pihak setelah insiden Tanjung Berakit, Riau, 13 Agustus 2010.

Kepala Bidang Penerangan Sosial dan Budaya KBRI di Malaysia Widyarka Ryananta, yang ditemui wartawan Kompas Iwan Santosa di Kota Kinabalu, mengatakan, pertemuan sudah berlangsung secara informal di antara delegasi kedua negara.

”Isi materi belum disampaikan. Besok Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa akan datang bersama Duta Besar RI Tan Sri Da’i Bachtiar untuk bertemu Menteri Luar Negeri Malaysia Hanifah Aman,” ujar Widyarka.

Tidak diungkapkan apakah insiden penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan RI oleh Kepolisian Laut Diraja Malaysia di Perairan Tanjung Berakit, Bintan, pertengahan Agustus itu akan dibahas dalam sesi khusus atau tidak.

Beberapa pejabat RI terlihat di Hotel Pacific di Sutera Harbor Resort di selatan Kota Kinabalu, Malaysia. Salah satunya adalah Arif Havas Oegroseno, pakar perjanjian internasional yang akan menempati jabatan baru sebagai Duta Besar RI untuk Kerajaan Belgia.

Widyarka mengatakan, kemungkinan besar hasil pertemuan hari Senin ini akan disampaikan bersama oleh pihak RI dan Malaysia.

Sementara Sekretaris Menteri Luar Negeri Malaysia Melvin Datuk Hanifah yang dihubungi Kompas mengatakan, pertemuan akan berjalan sesuai rencana. ”Dijadwalkan ada jumpa pers bagi para wartawan,” ujar Melvin.

Dalam pantauan di Kota Kinabalu tidak terlihat persiapan khusus menyambut perundingan RI-Malaysia. Kehidupan warga berjalan normal di Sabah, yang baru saja menyambut hari ulang tahun Malaysia dan segera menggelar perayaan Idul Fitri.

Daftar kedatangan delegasi RI mencantumkan 25 nama pejabat dari pelbagai instansi. Instansi pemerintah yang terlibat mencakup perwakilan TNI, KBRI Kuala Lumpur, sejumlah atase dan perwakilan Polri, Kementerian Luar Negeri Jakarta, dan Kementerian Pertahanan.

Marty Natalegawa dan Tan Sri Da’i Bachtiar dijadwalkan tiba di Kota Kinabalu pukul 11.35 waktu setempat. Pertemuan diagendakan berlangsung di Hotel Le Meridien, Kota Kinabalu. Semula dikabarkan pertemuan dilangsungkan di resor wisata mewah Bunga Raya, yang ditempuh satu jam perjalanan laut dari Kota Kinabalu.

Sebelas Nelayan Indonesia Ditangkap Pihak Malaysia

Lima nelayan tradisional asal Langkat, Sumatera Utara, ditahan otoritas keamanan Malaysia tanggal 3 September 2010. Mereka dituduh menangkap ikan di perairan Malaysia. Dengan demikian, kini total 11 nelayan asal Indonesia ditahan oleh Malaysia.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Riza Damanik dalam keterangan pers di Jakarta, Minggu (5/9), menyatakan, lima nelayan yang ditangkap itu adalah Naser (34), Junaidi (30), Iswadi (32), Jolauni(31), dan Ali Akbar(22).

Lima nelayan itu berasal dari dari Kelurahan Sei Bilah dan Sei Bilah Timur, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Mereka ditangkap tanggal 3 September, pukul 10.00, karena dituduh memasuki perairan Malaysia di Selat Malaka. Mereka kini ditahan di kantor Polisi Kampung Jawi, Malaysia.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Aji Sularso mengemukakan, pihaknya masih mendalami kasus tersebut. Kasus penangkapan nelayan Indonesia oleh Malaysia, dan sebaliknya, di perairan Selat Malaka kerap terjadi karena belum ada kejelasan batas wilayah perairan kedua negara.

Ia mengakui, masalah perbatasan yang belum tuntas seharusnya disikapi dengan mempercepat perundingan penentuan perbatasan. Selain itu, memperbanyak patroli pengawasan, baik dari KKP, TNI AL, maupun Polri, guna mencegah kesalahan penangkapan. Namun, saat ini jumlah patroli RI di Selat Malaka masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan patroli Malaysia.

Sebelumnya, sejak tanggal 9 Juli 2010, sebanyak enam nelayan juga ditahan otoritas keamanan Malaysia karena tuduhan serupa.

Indonesia Mengalah Pada Malaysia Karena Ingin Menjadi Ketua ASEAN 2011

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengakui, posisi Indonesia sebagai calon ketua ASEAN pada 2011 menjadi salah satu pertimbangan pemilihan jalur diplomasi dalam menyelesaikan persoalan Indonesia-Malaysia. Jalur itu juga dipilih karena selama ini posisi Indonesia lebih banyak menjadi inisiator penyelesaian konflik antarnegara, terutama di ASEAN.

Ditemui seusai pertemuan Joint Commission Ke-7 Indonesia-Thailand di Nusa Dua, Bali, Kamis (2/9), Marty menyatakan, posisi ketua ASEAN bagi Indonesia sangat strategis tidak saja di wilayah Asia Tenggara, tetapi juga di Asia, bahkan dunia. Posisi itu sebenarnya ditawarkan ke Indonesia tahun 2013, tetapi diajukan menjadi tahun depan.

”Harus diakui besarnya beban kita untuk menunjukkan Indonesia sebagai negara yang mampu selesaikan masalah. Sebab, kita dalam kerangka ASEAN tidak pernah membiasakan diri menjadi bagian dari permasalahan. Indonesia adalah problem solver,” kata Marty.

Karena itu, menurut dia, ketika Indonesia sendiri menghadapi suatu masalah, ada situasi yang harus dilakukan dan dikelola dengan cara yang baik dan tepat melalui diplomasi seperti pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di Jakarta, Rabu lalu.

”Berdiplomasi bukan berarti lemah. Itu wujud kekuatan argumentasi kita. Karena kita berkeyakinan argumentasi kita kuat, tepat, dan bisa kita sampaikan dengan cara baik,” kata Marty.

Pakta pertahanan

Berkaitan dengan menegangnya hubungan Indonesia-Malaysia akibat insiden di perbatasan kedua negara, Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Republik Indonesia Martin Hatfull yang ditemui di kediaman, Kamis, mengatakan, pihaknya memiliki pakta pertahanan dengan sesama negara Persemakmuran Inggris, seperti halnya Malaysia.

”Kami ada pakta pertahanan dengan Malaysia, Singapura, Brunei, dan Anzac (Australia dan Selandia Baru) di kawasan ini,” kata Hatfull.

Dia jelaskan, Inggris berkepentingan melihat adanya stabilitas dan perdamaian di Selat Malaka dan Laut China Selatan yang menjadi salah satu mata rantai ekonomi dunia. Ditanya lebih lanjut tentang krisis diplomatik Indonesia-Malaysia, Haftull menyatakan, pihaknya berharap semua diselesaikan dengan bersahabat dan damai.

Ketika ditanya kemungkinan gelar militer Persemakmuran Inggris terkait krisis RI-Malaysia, Hatfull mengatakan, itu bukan kewenangannya untuk membicarakan masalah militer.

Salah satu unit militer Inggris yang sejak berakhir Perang Dunia II berada di Asia Tenggara adalah batalyon Gurkha di Kerajaan Brunei hingga kini. Republik Singapura juga punya satuan kavaleri (main battle tank) Challenger yang ditempatkan di Brunei berikut satuan udara mereka.

Pidato Presiden SBY Justru Menunjukan Posisi Indonesia Yang Lemah dan Nrimo Terhadap Perlakuan Malaysia

Sejumlah kalangan mengaku sangat kecewa dengan isi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait isu kedaulatan wilayah RI dan harga diri bangsa menyusul insiden yang kembali terjadi dengan negara tetangga, Malaysia, pada 13 Agustus 2010.

Kebanyakan dari mereka menilai isi pidato Presiden SBY, Rabu (1/9) malam, malah justru memosisikan Indonesia semakin tersubordinasi di bawah Malaysia, yang berdampak pula posisi tawar Indonesia dalam menghadapi proses perundingan kawasan yang masih dipersengketakan dengan negara itu.

Pidato tadi juga dianggap menunjukkan pernyataan seorang kepala negara yang berada dalam posisi tersandera. Hal itu terlihat dari sejumlah alasan yang dilontarkan seperti mempertimbangkan keberadaan para tenaga kerja Indonesia, nilai investasi negeri jiran itu di Indonesia, dan juga soal posisi Indonesia di ASEAN.

Penilaian itu terangkum dari pernyataan sejumlah pihak seperti dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Andi Widjojanto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, dan Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia, Kamis.

”Karena pidato Presiden Yudhoyono kemarin menginginkan percepatan proses perundingan, maka hal itu menjadikan posisi kedua negara tidak berimbang. Elemen waktu menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi Malaysia sehingga sangat mungkin dalam perundingan nanti mereka bisa saja menjadikannya terhambat di sana-sini,” ujar Andi.

Seperti diwartakan, proses perundingan kawasan perbatasan dengan Malaysia dipercepat menjadi 6 September 2010 dan diadakan di Kinabalu, Malaysia. Percepatan menyusul insiden yang terjadi di wilayah perairan sebelah utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau, 13 Agustus lalu.

Andi menambahkan, sebagai tuan rumah, Malaysia bisa menentukan agenda setting serta mengendalikan jalannya perundingan seperti agenda pembicaraan, siapa akan berbicara terlebih dahulu, dan apakah akan ada waktu bagi kedua delegasi melakukan proses lobi.

Sikap lembek Pemerintah Indonesia juga tampak ketika dalam pidato, Presiden Yudhoyono tidak bersikap terkait fakta surat resminya terdahulu sampai sekarang belum kunjung dibalas secara resmi oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak.

”Padahal, dia (Presiden SBY) punya pilihan, memperkeras posisi Indonesia dan meningkatkan retaliasinya, atau ya silakan tiru saja omongan para tokoh peraih hadiah Nobel Perdamaian dunia. Dari pidato itu, Malaysia akan membaca Indonesia hanya ingin kompromi,” ujar Andi.

Lebih lanjut, Andi menilai Presiden Yudhoyono salah memilih tempat dengan berpidato seperti itu di Markas Besar TNI. Seharusnya, ketika berpidato di sana, dia bisa mengirim sinyal-sinyal kuat, misalnya dengan mengatakan, untuk memperkuat posisi diplomasi, pemerintah akan menyiapkan angkatan bersenjata yang kuat.

Dengan begitu, akan tampak jelas Indonesia memang tengah memperkuat posisi diplomasinya dengan dukungan kekuatan angkatan bersenjata. Sinyal seperti itu jauh lebih konkret dan tegas ketimbang apa yang disampaikan Presiden Yudhoyono kemarin di Cilangkap.

Kekecewaan juga dilontarkan Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, yang menurutnya sama sekali tidak tegas, lugas, dan tidak membawa pesan yang jelas, terutama bagi Malaysia. Isi pidato itu sangat jauh dari ekspektasi masyarakat banyak selama ini.

”Pembukaan pidato yang berisi masalah perekonomian seolah hendak menunjukkan betapa rentannya Indonesia jika hubungan kedua negara memburuk. Juga ketika dia menekankan pentingnya percepatan perundingan perbatasan, yang lebih bersifat pepesan kosong karena akan bergantung pada apakah Malaysia setuju atau tidak dipercepat,” ujar Hikmahanto.

Hikmahanto menambahkan, terkait citra Indonesia di ASEAN yang seolah membuat Presiden tidak bisa bertindak tegas, hal itu sama sekali tidak bisa diterima. Dia mencontohkan, Amerika Serikat menjadi penengah Israel-Palestina, tetapi tidak berarti AS tidak bisa keras di Irak dan Afganistan.

Sementara itu, Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia menilai isi pidato tersebut lebih tepat disampaikan seorang Duta Besar Malaysia daripada seorang presiden negara besar seperti Indonesia. Padahal, seharusnya Indonesia mendesak Malaysia meminta maaf. Untuk itu, Ray meminta DPR memanggil Presiden Yudhoyono.

Pelampiasan Kemarahan Memberikan Kesempatan Malaysia Untuk Melecehkan Indonesia

Penyikapan yang tidak jelas dalam menanggapi perilaku Malaysia, selain mengecewakan masyarakat luas dan memicu tindak pelampiasan kemarahan, juga hal itu sama artinya dengan memberikan kesempatan kepada Malaysia untuk kembali melecehkan Indonesia.

Sejumlah anggota Komisi I DPR mencecar soal penyikapan pemerintah dalam menanggapi pernyataan dan sikap Perdana Menteri (PM) Malaysia Najib Razak yang tampak enggan segera menjawab surat resmi dari Pemerintah Indonesia terkait insiden perbatasan di kawasan perairan Tanjung Berakit, Kepulauan Riau, 13 Agustus lalu.

Mereka mendesak Pemerintah RI bersikap tegas terhadap fakta tersebut. Kejelasan sikap pemerintah juga dinilai sangat perlu agar masyarakat tidak kecewa dan justru mencari cara lain untuk melampiaskan kemarahan mereka terhadap Malaysia.

Semua desakan itu disuarakan dalam rapat kerja antara Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan beserta para menteri dan pejabat negara lain di bawah koordinasinya dengan Komisi I, Selasa (31/8) malam hingga Rabu (1/9) dini hari.

”Kita bangga dengan Indonesia sebagai negara yang besar serta heroisme kita. Akibat ketidaksiapan dan lemahnya koordinasi antaraparat kita di lapangan dalam mengamankan wilayah kita, seperti terjadi kemarin, masyarakat marah dan khawatir,” ujar Ahmad Muzani dari Fraksi Partai Gerindra.

Tambah lagi, ujar Muzani, jawaban para pejabat kita yang tidak mampu menghilangkan kekhawatiran rakyat tadi justru membuat mereka memilih mencari cara sendiri dalam mengekspresikan kemarahan mereka terhadap Malaysia. Mereka juga cemas karena menganggap pemerintah lemah dan tidak mampu menjaga dan menjamin nasib serta masa depan mereka.

”Dalam situasi di mana kita sebagai warga negara kita merasa direndahkan dan diprovokasi, seharusnya inisiatif untuk berbaik-baik datangnya dari Kuala Lumpur sana, bukan malah datang dari Jakarta. Menjadi sangat menyakitkan ketika PM Malaysia malah bilang belum baca surat resmi pemerintah kita terkait kasus itu. Sekali lagi, itu penghinaan dan kejadian macam itu sudah berkali-kali terjadi. Sayangnya tidak pernah ada penuntasan yang jelas,” ujar Muzani.

Dia juga mengkritik kelemahan koordinasi antaraparat terkait, termasuk dalam konteks pengamanan kawasan perbatasan dan kedaulatan RI, yang kerap membuat Indonesia kecolongan. Muzani mengingatkan, jangan sampai kekecewaan masyarakat berlarut-larut dan malah mencari cara sendiri-sendiri, yang kemudian menjadi persoalan horizontal yang berlarut-larut.

Dalam kesempatan sama, anggota Komisi I dari Fraksi PDI-P, TB Hasanuddin, menilai insiden yang terjadi di kawasan perairan Tanjung Berakit, 13 Agustus silam, dengan masuknya kapal patroli Polis Marin Diraja Malaysia, yang kemudian menangkap tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bukan tidak mungkin hal itu merupakan cara Malaysia untuk mengetes kesiapan Indonesia.

”Dalam taktik perang itu ada yang namanya istilah ’intai paksa’. Jadi, saya menilai masuknya kapal patroli mereka itu bukan karena sesuatu yang kebetulan, tapi adalah taktik mereka mencoba mencari tahu seberapa cepat reaksi dan tindakan aparat kita. Harus diwaspadai karena bisa jadi ini operasi intelijen,” ujar Hasanuddin.

Saat mendapat giliran menjawab pertanyaan, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengingatkan soal adanya keterikatan antarsesama anggota organisasi negara-negara kawasan Asia Tenggara, ASEAN, yang mendorong penyelesaian pertikaian antarnegara anggota dilakukan lewat jalur perundingan.

Makan waktu panjang

Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Arif Havas Oegroseno yang ditemui di Jakarta, Rabu kemarin, menjelaskan, perundingan perbatasan biasanya memakan waktu panjang. ”Sebagai contoh antara Indonesia dan Australia sudah dirintis sejak tahun 1972 dan baru selesai tahun 1997,” kata Havas.

Batas laut yang disetujui dengan Australia mencakup wilayah di selatan Papua (Selat Torres), sebelah selatan Pulau Sumba di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan sebelah selatan Pulau Jawa yang berbatasan laut dengan Pulau Christmas.

Sejumlah komponen yang harus diperhatikan antara lain variabel hidrografi, pasang-surut laut, geografi, bentuk pantai, panjang pantai, geodesi, geologi, perjanjian internasional yang ada, hukum laut, dan yurisprudensi. Begitu banyak faktor yang dipertimbangkan dan tidak bisa bertindak tergesa-gesa.

Havas mencontohkan, perjanjian dengan Singapura dibahas selama lima tahun untuk perbatasan laut 20 mil laut. Perbatasan laut di Selat Malaka sejauh 600 mil tentu memerlukan waktu yang lebih lama.

Menurut Havas, perjanjian yang sudah selesai baru tercapai antara Indonesia dan Australia serta Papua Niugini. Sementara dalam enam bulan terakhir dibahas soal perbatasan dengan Palau, Thailand, dan Vietnam terkait zona ekonomi eksklusif (ZEE) serta landas kontinen.

Keamanan Wilayah dan Kedaulatan Maritim Indonesia Lemah

Ketua Dewan Pertimbangan Nasional Demokrat Sultan Hamengku Buwono X menegaskan pentingnya melakukan perubahan paradigma dalam merestorasi maritim Indonesia. Dalam hal keamanan dan pertahanan, Indonesia belum bisa berbuat banyak. Wajar jika negara dipermainkan Singapura dan Malaysia.

Hal itu disampaikan Sultan dalam acara Focus Group Discussion yang mengambil tema ”Restorasi Menuju Ekonomi Maritim” di Universitas Sam Ratulangi, Manado, Selasa (31/8).

”Membicarakan restorasi maritim Indonesia, kita harus melihat kembali bagaimana kebijakan tentang laut, potensi kelautan dari sudut pertahanan dan keamanan negara,” paparnya.

Selama ini kebijakan tentang kelautan masih tumpang tindih. Ada sekitar 14 instansi yang berkecimpung dalam mengurus kelautan. Namun, hingga saat ini ekonomi maritim belum juga menyumbang pendapatan negara secara signifikan dibandingkan sektor lain. ”Jika seluruh potensi yang ada tersebut dapat dimanfaatkan optimal, sudah barang tentu semua aktivitas perekonomian akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan,” katanya.

Di antara sekian banyak sektor ekonomi sumber daya alam, sektor maritim merupakan sumber pertumbuhan paling potensial.

Soal masalah keamanan dan pertahanan negara, Indonesia belum bisa berbuat banyak. Wajar jika pada akhirnya selalu dipermainkan oleh negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

”Indonesia tidak tegas dalam mengelola kelautan. Amandemen laut sebagai alat pemersatu sudah harus dilakukan. Secara geopolitis dan keamanan, Indonesia harus menciptakan pemikirannya sendiri dalam hal maritim sebagai sebuah kekuatan baru,” tukasnya.

Maritim sebagai kekuatan baru Indonesia dapat dilakukan asalkan perubahan paradigma dalam hal wawasan nusantara yang mempersatukan pulau-pulau kecil dan besar dilakukan.

”Kita bisa membangun pelabuhan-pelabuhan besar. Kenapa Singapura bisa dan Australia juga bisa membangun di Darwin. Ini yang harus diwaspadai, apakah punya tujuan akan mengincar Selat Arapura dan Manokwari. Kita harus berbuat sesuatu,” tegasnya.

Seputar Malaysia

Hingga Selasa kemarin, kemarahan terhadap Malaysia dan kritik atas lemahnya pemerintah terhadap Malaysia masih bermunculan.

Terkait isu Malaysia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan akan memberikan pernyataan pada Rabu ini. Namun, Presiden meminta semua pihak agar rasional.

Terkait isu serupa, Komisi I DPR bertemu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, didampingi Menlu Marty Natalegawa, Menhan Purnomo Yusgiantoro, Menhuk dan HAM Patrialis Akbar, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, Kepala BIN Sutanto, Kapolri Bambang Hendarso Danuri diwakili Irwasum Polri Komjen Nanan Sukarna.

”Indonesia tidak pernah bisa menerima pihak Malaysia yang dalam menentukan wilayah perbatasannya dengan berpatokan pada peta tahun 1979. Kita tetap akan memakai peta berdasarkan UNCLOS 1982. Selain itu, dalam perundingan, kita juga akan mempertimbangkan soal adanya konsesi minyak di wilayah itu,” ujar Djoko. Dia juga menyatakan, pemerintah tidak pernah lunak dalam menghadapi sejumlah kasus terkait dengan Malaysia.

Indonesia Kurang Percaya Diri Dalam Bergaul Dengan Malaysia

Kalau saja para petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan punya tingkat kepercayaan diri (pe-de) dan kengototan setinggi para petugas Polis Marin Diraja Malaysia, terutama dalam keberanian mengklaim kawasan kedaulatan, boleh jadi insiden kawasan perbatasan 13 Agustus lalu bakal beralur cerita beda.

Alih-alih tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang digelandang, diborgol, lalu dipenjarakan dengan mengenakan seragam tahanan dan dipenjarakan macam kriminal oleh kepolisian Malaysia, yang lantas memicu kemarahan publik Indonesia, bukan tidak mungkin yang terjadi justru kebalikannya; para petugas KKP-lah yang ”berjaya” membawa pulang hasil ”tangkapan besar”.

Tangkapan besar setidaknya berupa lima kapal lengkap dengan sembilan nelayan pencuri ikan asal negeri jiran tadi dan juga tak lupa sejumlah petugas Polis Marin Diraja Malaysia (PMDM), yang nekat masuk wilayah perairan (yang diklaim) milik Indonesia dan lebih parah lagi malah mau bertindak arogan dengan mengganggu dan menyerang patroli KKP.

Dengan alur cerita macam itu, kesan heroik tentunya jauh lebih terasa ketimbang yang terjadi sekarang. Walau tentunya tetap berdampak sama-sama memicu ketegangan kedua negara dalam hal isu sengketa perbatasan.

Namun, sayang, alur cerita nan heroik tadi dipastikan mustahil terjadi, terutama lantaran sejumlah kelalaian fatal nan konyol yang dilakukan sendiri oleh para petugas KKP.

Kelalaian pertama, sejak awal petugas KKP ternyata diketahui tidak mempersiapkan peralatan dan perlengkapan patroli mereka dengan baik, terutama peralatan global positioning system (GPS), yang menjadi peralatan vital dalam menentukan koordinat posisi kapal untuk kemudian dipakai sebagai klaim siapa berada di wilayah teritorial siapa.

Padahal, persiapan dan pengecekan alat dan kelengkapan lain sebelum berpatroli adalah prosedur standar operasi di mana pun. Jangan heran ketika insiden terjadi, para petugas KKP terkesan kalah awu dan tidak percaya diri mengklaim merekalah yang benar dan nelayan serta polisi Malaysia telah melanggar wilayah kedaulatan Indonesia.

Tidak cuma soal peralatan, kelalaian lain yang juga tak kalah fatalnya dilakukan para petugas KKP terjadi sesaat sebelum berpatroli, mereka sama sekali tidak berkoordinasi dengan instansi lain macam Kepolisian Air dan Udara (Polairud) Polri, TNI Angkatan Laut, atau bahkan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang disebut-sebut cikal bakal instansi Penjaga Pantai (Coast Guard) Indonesia.

Akibatnya, mereka bergerak sendirian tanpa ada dukungan bala bantuan, yang sewaktu-waktu siap meluncur memberikan pertolongan dalam kondisi darurat. Fakta itu sangatlah disayangkan.

Tak kurang Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto sendiri mengecam fakta itu seperti disampaikannya dalam jumpa pers seusai menggelar rapat koordinasi dengan para menteri di bawah koordinasinya, pekan lalu.

Turut hadir dalam rapat koordinasi itu Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri KKP Fadel Muhammad, Panglima TNI Jenderal (TNI) Djoko Santoso, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (TNI) Agus Suhartono, dan Kepala Pelaksana Harian Bakorkamla Laksamana Madya (TNI) Y Didik Heru Purnomo.

”Dalam berpatroli, koordinasi antarinstansi harus selalu dilakukan. Setidaknya sekadar untuk saling berbagi informasi. Jangan sampai terjadi setiap instansi berjalan sendiri-sendiri atau malah mengerjakan hal sama di satu area dan dalam waktu yang bersamaan. Bakorkamla sudah membuat prosedur baku soal itu. Namun, sayang, dalam pelaksanaannya di lapangan kerap tidak sesuai,” ujar Djoko.

Penyesalan senada juga dilontarkan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Havaz Oegroseno saat mendampingi Marty Natalegawa menghadiri rapat dengar pendapat Kementerian Luar Negeri dan Komisi I. Dia menyinggung, seharusnya para petugas di lapangan bisa lebih menaati prosedur standar operasi yang berlaku.

”Mekanisme koordinasi, kan, sudah disusun dan ditetapkan Bakorkamla. Jadi, kalau mau berpatroli, seharusnya saling memberi tahu. Lagi pula, kalau katanya mereka sudah menjalankan prosedur standar, bagaimana bisa itu peralatan GPS tidak bisa dipakai karena baterainya habis? Mbok ya, sebelum patroli beli baterai dahululah atau ya pakai saja GPS yang ada di pesawat telepon seluler. Hampir semua ponsel teknologi sekarang kan ada (fitur) GPS-nya,” sindir Havaz.

Havaz menambahkan, saat penangkapan para nelayan Malaysia, para petugas KKP juga melakukan kesalahan prosedural yang tak kalah fatal. Mereka memindahkan tujuh dari total sembilan orang nelayan Malaysia ke atas dek kapal patroli Dolphin 015, yang ketika itu hanya diawaki dua petugas KKP, sementara tiga petugas lainnya naik ke lima kapal nelayan, yang rencananya akan mereka sita dan bawa ke Batam.

”Menurut prosedur, tidak boleh terjadi di satu tempat jumlah aparat yang menangkap kalah banyak dengan jumlah orang yang mereka tangkap. Kalau seperti itu, namanya membahayakan diri sendiri. Seharusnya mereka paham prosedur standar seperti itu. Tambah lagi, kalau memang saat kejadian mereka merasa yakin benar, ya hadapi saja itu patroli PMDM. Jangan malah lari meninggalkan teman-temannya digelandang ke Malaysia,” ujar Havaz menyesalkan.

Meski begitu, ibarat pepatah, nasi sudah menjadi bubur. Ketiga aparat KKP walhasil memang digelandang dan ditangkap pihak Malaysia serta terpaksa mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan, yang kemudian memicu kemarahan publik di Indonesia.

Tiga kesalahan Malaysia

Lebih lanjut, seperti disampaikan Menlu Marty dalam sejumlah kesempatan, Malaysia tercatat melakukan tiga kesalahan dalam insiden yang terjadi hanya empat hari menjelang peringatan hari kemerdekaan RI itu. Kesalahan pertama dan kedua, masuknya nelayan Malaysia dan patroli PMDM ke wilayah perairan yang diklaim Indonesia, sementara kesalahan ketiga adalah penangkapan terhadap tiga petugas KKP Indonesia oleh patroli PMDM serta kemungkinan terjadinya tindak kekerasan terhadap mereka, baik saat ditangkap maupun ketika ditahan di penjara kepolisian Malaysia.

Pemerintah dari hasil rapat koordinasi Kementerian Bidang Polkam mengeluarkan tiga rekomendasi agar peristiwa serupa tidak kembali terulang di masa mendatang. Ketiga rekomendasi itu adalah peningkatan koordinasi pengawasan dan keamanan laut oleh seluruh pemangku kepentingan, mulai dari TNI AL, Polairud, KKP, Bea dan Cukai, KPLP, dan Bakorkamla.

Selain itu juga diupayakan peningkatan pemahaman yang lebih mendalam tentang daerah operasi perbatasan, terutama untuk daerah yang masih dalam proses sengketa ataupun perundingan, sampai ke tingkat aparat dan petugas di lapangan.

Rekomendasi ketiga, percepatan proses perundingan perbatasan dengan negara lain.

Terkait rekomendasi kedua, sejumlah pihak juga menyoroti hal itu sebagai salah satu kelemahan utama. Para petugas di lapangan tidak paham perkembangan status wilayah yang disengketakan karena proses perundingan di tingkat pusat atau pejabat atas tidak sampai informasinya ke mereka yang ada di level lapangan dan operasional.

Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andi Widjojanto, menegaskan, pihak Malaysia selama ini memang dikenal tidak pernah ragu mengklaim dan menetapkan wilayah teritorialnya secara sepihak (unilateral). Hal itu malah terjadi mulai dari level atas hingga petugas mereka di lapangan.

Sayangnya, hal serupa, menurut Andi, tidak dilakukan aparat Indonesia yang kerap ragu. Padahal, kalau mau meniru Malaysia, lebih baik klaim saja terlebih dahulu dan masalah lain diurus belakangan. Boleh jadi juga banyak aparat tidak pe-de lantaran, seperti dalam kasus KKP tadi, mereka tidak mempersiapkan diri dengan peralatan dan pengetahuan sebaik yang dibutuhkan sebelum ke lapangan.