Kepolisian Nasional Filipina, Rabu (25/8), menskors empat polisi komandan Tim SWAT (Special Weapons and Tactics) yang mengakhiri drama penyanderaan bus wisata di Manila, Senin lalu. Penyanderaan tersebut berakhir tragis dengan 8 dari total 21 turis asal Hongkong yang berada di dalam bus tersebut tewas.
Juru bicara Kepolisian Filipina Senior Superintendent Agrimero Cruz mengatakan, skorsing terhadap empat polisi tersebut dilakukan untuk memperlancar penyelidikan atas apa yang sebenarnya terjadi. Sebelumnya, Kepala Kepolisian Manila Rodolfo Magtibay sudah lebih dulu dinonaktifkan.
Selain itu, tim penyelidik juga menyita senjata yang digunakan 200 anggota Tim SWAT pada saat kejadian untuk uji balistik guna mengetahui peluru siapa yang mengenai dan menewaskan 8 sandera.
Cruz mengatakan, masih terlalu dini untuk memastikan apakah para sandera tersebut terkena peluru yang ditembakkan Rolando Mendoza, si penyandera; atau peluru dari Tim SWAT yang menyerang bus. Mendoza sendiri tewas tertembus peluru polisi penembak jitu.
Hasil otopsi terhadap lima korban tewas menunjukkan, mereka terbunuh karena luka-luka tembakan di bagian kepala dan leher. Menurut Cruz, polisi mengumpulkan sedikitnya 59 selongsong peluru dari senapan M-16 dan 31 peluru dari senjata api ringan yang dibawa Mendoza.
Berderet kesalahan
Kepolisian Filipina menjadi sasaran kemarahan dan kecaman sejumlah kalangan karena dianggap telah melakukan blunder dan berderet kesalahan saat menangani krisis penyanderaan tersebut.
Di video rekaman aksi pembebasan sandera yang diunggah di YouTube, seorang pengguna mengolok-olok SWAT dalam kepolisian Filipina sebagai singkatan dari ”Sorry, We Aren’t Trained (Maaf, Kami Tidak Terlatih)”.
John Harrison, analis keamanan dalam negeri dari Nanyang Technological University di Singapura, mengkritik siaran langsung drama penyanderaan yang ditayangkan televisi lokal. Menurut John kepada kantor berita AFP, seharusnya polisi bisa memblokir media untuk menghindari penyandera mendapatkan masukan langsung tentang situasi di sekitarnya.
Sopir bus wisata itu, Alberto Lubang, yang berhasil meloloskan diri saat terjadi tembak-menembak pertama, mengaku kepada Associated Press bahwa Mendoza bisa melihat semua kejadian di sekitarnya melalui pesawat televisi di dalam bus. Salah satu tayangan yang Mendoza lihat adalah saat polisi menangkap paksa adiknya, Gregorio.
Tayangan tersebut diduga menjadi pemicu kemarahan Mendoza. Gregorio, yang juga seorang polisi, dituduh berkonspirasi dengan kakaknya dalam penyanderaan itu.
Seorang pengamat lain yang dikutip AFP mengkritik adanya serangan ”tentatif” atau serangan coba-coba polisi terhadap penyandera, sebelum akhirnya dilancarkan serangan penuh satu jam kemudian. ”Jika Anda memerintahkan menyerang, harus benar-benar diserang. Tidak ada yang namanya serangan tentatif,” tutur sumber yang menolak disebut namanya ini.
Menteri Dalam Negeri Filipina Jessie Robredo, yang membawahi kepolisian nasional, mengakui ada beberapa masalah dalam proses penanganan penyanderaan oleh polisi, termasuk kekurangan persiapan, peralatan, dan pelatihan.
Presiden Filipina Benigno Aquino III memerintahkan tim penyelidik pemerintah bekerja di luar penyelidikan internal kepolisian. Aquino berjanji, penyelidikan akan berjalan setransparan mungkin dan akan mengabarkan seluruh hasilnya kepada pihak otoritas Hongkong.
Aquino juga menetapkan hari Rabu sebagai hari berkabung nasional di Filipina sebagai bentuk simpati dan penghormatan bagi para korban.
Sementara itu, di Hongkong, suasana duka menyelimuti upacara kenegaraan resmi untuk menyambut para korban selamat dan delapan jenazah yang tiba kembali di Bandara Internasional Hongkong, Rabu petang. Mereka diterbangkan langsung dari Manila dengan pesawat Cathay Pacific yang dikirim pemerintah daerah otonomi khusus Hongkong.
Para tenaga kerja Filipina di Hongkong mulai khawatir mereka akan menjadi sasaran balas dendam warga Hongkong atas kejadian tersebut. Konsul Jenderal Filipina di Hongkong Claro Cristobal mengatakan, sudah ada laporan seorang pekerja Filipina dipecat majikannya sebagai bentuk kemarahan dan protes.