Hasil pemilu di Filipina—untuk memilih seorang presiden dan wakil presiden serta lebih dari 17.000 jabatan lainnya—belum ada. Namun, sejak kemarin, sehari setelah pemilu digelar, ada keyakinan bahwa pemilihan presiden akan dimenangi oleh Senator Benigno Simeon ”Noynoy” Cojuangco Aquino III.
Noynoy tidak hanya diyakini akan memenangi pemilu, tetapi menang dengan kelebihan suara yang amat banyak (landslide). Bahkan, salah seorang lawan beratnya, Manuel Villar, sudah memberikan selamat dengan mengatakan, ”Rakyat Filipina telah memutuskan. Saya ucapkan selamat kepada Senator Noynoy Aquino atas kemenangannya.”
Ketika itu, jumlah suara yang dihitung Komisi Pemilihan Umum (Comelec) baru 57 persen dari jumlah suara yang masuk—jumlah pemilih yang tercatat 50 juta dan diperkirakan yang menggunakan haknya 85 persen. Dari jumlah suara yang sudah dihitung itu, Noynoy merebut 41 persen; pesaing dekatnya adalah mantan Presiden Estrada (25 persen), dan posisi ketiga ditempati Villar (14 persen), seorang konglomerat properti.
Bahwa Noynoy akan memenangi pemilu sudah diduga. Bahkan, hasil sejumlah jajak pendapat juga mengunggulkan Noynoy. Mengapa rakyat memberikan kemenangan kepada Noynoy?
Satu hal yang diketahui rakyat Filipina adalah Noynoy adalah anak pasangan Benigno Servillano ”Ninoy” Aquino Aquino Jr dan Maria Corazon ”Cory” Sumulong Cojuangco Aquino.
Ninoy—senator, gubernur Tarlac, aktivis demokrasi, tokoh oposisi penentang Presiden Marcos—tewas dibunuh di Bandara Internasional Manila, 21 Agustus 1983. Cory—ibu rumah tangga, pemimpin Revolusi Kekuatan Rakyat 1986, dan ikon demokrasi Filipina—perempuan presiden pertama di Filipina.
Nama besar, warisan, dan jasa menjadi salah satu modal perjuangan Noynoy meraih kursi di Malacanang. Semula Noynoy tidak tertarik mencalonkan diri. Setelah kematian ibunya, banyak kalangan—termasuk partainya, Partai Liberal—mendesak dia agar mencalonkan diri. Akhirnya ia pun maju.
Tema yang diusung Noynoy dalam kampanye adalah membangun pemerintahan yang bersih, perang melawan korupsi, menghukum para pejabat yang korup, dan memperbaiki integritas kongres dan lembaga yudikatif.
”Lawan korupsi” adalah dua patah kata yang seksi di Filipina, negeri yang para pejabatnya dikenal korup. Nelson Nogot Moratallah dalam karyanya berjudul Graft And Corruption: The Philippine Experience menulis ”akhir tahun 1980-an, Filipina masuk Guinness Book of World Records karena dianggap sebagai negara terkorup.” Ini menunjuk pada masa pemerintahan Ferdinand Marcos.
Bahkan, untuk menggambarkan betapa korupnya rezim Marcos, kata ”kleptocracy” dan ”plunder” (menjarah) menjadi bagian dalam kamus politik Filipina. ”Pemerintah yang dijalankan oleh para pencuri” itu tidak berakhir meski tahun 1991 disahkan undang-undang antikorupsi.
Noynoy menjawab mimpi rakyat yang menginginkan munculnya pemimpin yang bersih, yang mau sungguh-sungguh memberantas korupsi yang menggerogoti negerinya. Noynoy— seperti dulu ibunya yang berdiri di depan melawan sang diktator dan koruptor Marcos—yang dikenal jujur dan dari keluarga yang bersih akan menggelorakan revolusi melawan korupsi.