Kebangkitan RRC pada abad ke-21 dicirikan para pemimpin China sebagai youhao de daxiang (gajah yang bersahabat) yang selalu tecermin dalam beberapa pertemuan ASEAN-China. Ungkapan ini memberikan penekanan China sebagai kekuatan baru, ingin meletakkan dasar hubungan yang disebut sebagai shuang ying (menang-menang) dengan negara-negara ASEAN.
Dalam kondisi ini sekali pun, masih ada kekhawatiran di banyak negara, Asia Tenggara khususnya, China yang kuat secara ekonomi, perdagangan, dan militer nantinya akan meningkatkan pengaruhnya atau akan mendominasi seluruh kawasan untuk kepentingan strategisnya.
Kedekatan China dengan negara-negara ASEAN memang terlalu awal menyatakan negara besar dengan penduduk terbesar di dunia ini adalah negara tetangga yang bersahabat. Perilaku China sendiri mungkin bisa disebut sebagai negara tetangga yang lebih baik, terutama sejak krisis keuangan 1997 karena kontribusi Beijing menghadirkan keamanan dan kesejahteraan regional.
Kita memahami kondisi periferi yang stabil bagi China memungkinkan para pemimpin di Beijing menerapkan apa yang selalu disebut sebagai zhanlue jiyuqi, periode kesempatan strategis, sebagai dasar melanjutkan pembangunan ekonomi pada abad ke-21. Posisi Asia Tenggara yang strategis, sekaligus sebagai sumber investasi, perdagangan, maupun sumber daya alam, menjadi penting sebagai pemacu modernisasi China.
Konsentris China
Dalam konteks ini kita mencoba mengerti kelangsungan hubungan China dengan negara-negara ASEAN setelah diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas, menentukan kesinambungan hubungan ASEAN-China di masa mendatang. Kebangkitan China sebagai kekuatan dominan di kawasan dan menuju sebagai kekuatan global menimbulkan kekhawatiran apakah kedigdayaan RRC akan sama dengan pengalaman sejarah masa lalu, seperti kebangkitan Inggris, Jerman, Jepang, dan AS.
Para pengamat China melihat kebangkitan China dan hubungannya dengan kawasan Asia Timur pada umumnya akan condong mengulang sejarah masa lalu, mencerminkan cara pandang China terhadap dunia dengan membangun hubungan sistem negara upeti tributary- state) ketimbang sistem negara bangsa (nation-state) yang dikembangkan pascakolonialisme Asia.
Martin Jacques dalam bukunya When China Rules the World: The End of the Western World and the Birth of a New Global Order (The Penguin Press, 2009) melihat walaupun sistem upeti dalam mekanisme negara fatsal yang dianut China selama beberapa abad tenggelam dengan kebangkitan negara Barat (dan Jepang) sebagai kekuatan dominan di kawasan, cara pandang China tentang sistem upeti dalam lingkaran konsentris tidak pernah lenyap.
Menurut Jacques, sistem negara fatsal mewakili keseluruhan cara pandang China tentang dunia dan sekitarnya, memiliki ciri ketidakseimbangan yang sangat besar yang terjadi antara China dan negara-negara tetangganya, dan secara bersamaan keduanya juga saling percaya pada superioritas budaya China.
Kebangkitan China sebagai kekuatan global pada abad ke-21 dan kemunculan sistem negara fatsal tidak serta-merta ditandai dengan terjadinya instabilitas di kawasan. Sistem fatsal sendiri sebenarnya sangat stabil karena berakar pada dominasi China serta tidak pernah tertantang secara hirarkis dalam pola hubungan negara-negara kawasan.
Kebangkitan China dan kemunculan sistem fatsal didefinisikan sebagai penerimaan kawasan Asia Timur yang secara esensial adalah tatanan konsentris budaya China dan diterima serta diakuinya superioritas Negara Tengah.
Sistem fatsal
Pengejawantahan sistem fatsal memang tidak akan sama dengan kisah sejarah ketika Raja Kertanegara memotong kuping utusan khusus Kubilai Khan, penguasa dinasti Yuan, bernama Meng Chi yang membawa surat agar penguasa Singasari harus takluk pada penguasa China dan memberikan upeti sebagai tanda kesetiaan kepada kekaisaran Negara Tengah.
Sistem kuasi-upeti pada era globalisasi dalam konteks era kebangkitan China dicerminkan dalam politik kekuatan lunak (soft power) ditegakkan sebagai pengakuan terselubung menempatkan China sebagai kekuatan dominan di kawasan Asia Timur. Contoh sederhana sistem kuasi-upeti ini diterapkan dalam hubungan RI-RRC.
Sejak pemulihan hubungan diplomatik RI-RRC tahun 1990, salah satu butir yang menjadi ganjalan adalah penggunaan kata China itu sendiri. Keseluruhan institusi pemerintah dan swasta (termasuk harian ini) di Indonesia ditekan tidak lagi menggunakan kata Cina (tanpa h), dan diharuskan melafalkan kata China sebagai ”caina”.
Penguasa RRC menganggap kata Cina adalah sebuah penghinaan, yang juga mendapat dukungan dari mayoritas orang Tionghoa di Indonesia, dan luas digunakan oleh penguasa Orde Baru setelah Beijing dituduh ikut mendukung Gerakan G30S/PKI pada tahun 1965. Diterimanya penggunaan kata China menunjukkan betapa berpengaruhnya China sebagai kekuatan dominan sekaligus mencerminkan penerapan sistem fatsal di era modern.
Kepentingan nasional
Tidak bisa dimungkiri China adalah kekuatan konvergensi, dan dominasinya dalam sistem fatsal modern membuahkan hasil yang mampu mencerminkan keinginan Beijing menerapkan situasi menang-menang dalam interaksinya dengan negara-negara di Asia Timur.
Ini antara lain yang tercermin ketika Presiden RRC Hu Jintao berkunjung ke Indonesia bulan April 2005, penguasa China memberikan komitmen untuk bisa mencapai 200 miliar dollar total perdagangan bilateral ASEAN-China pada tahun 2010. Pernyataan ini menunjukkan bahwa keberhasilan ekonomi China akan mampu membantu kekuatan ekonomi masing-masing negara ASEAN.
Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) dengan total gabungan penduduk mencapai 1,7 miliar orang akan mampu menciptakan total perdagangan di kawasan ini melebihi 1,2 triliun dollar AS. Di tengah resesi yang berkepanjangan sekarang ini, skenario ACFTA memberikan harapan terjadinya pertumbuhan positif dalam konteks shuang ying menciptakan kesempatan strategis bersama.
Persoalannya, negara besar seperti Indonesia harus secara aktif mulai memahami dan mengamati perubahan perilaku China sebagai kekuatan dominan yang sedang menuju kekuatan global baru, mampu memilih diplomat berkualitas tanpa cacat hukum apa pun.
Karena sistem fatsal dalam kuasi-upeti dalam lingkup pengaruh konsentris Negara Tengah di era globalisasi sekarang ini, kepentingan nasional masih tetap relevan sebagai dasar daya saing dalam sistem ekonomi, perdagangan, dan keuangan yang semakin kompleks. Epidemi korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam sistem fatsal hubungan dengan China hanya menguntungkan satu sisi saja.